Pekanbaru (ANTARA News) - Badan Restorasi Gambut mengevaluasi program restorasi gambut di Riau guna mengetahui kebutuhan upaya ekstra untuk mencegah kebakaran lahan gambut, yang tahun ini masih terjadi di wilayah provinsi itu.

"Meski pada 2018 ini sudah ada perbaikan, namun belum jamin tak ada yang terbakar. Jadi kami ingin menggali usaha ekstra apa yang bisa dilakukan oleh BRG," kata Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead dalam pertemuan BRG dengan Pemerintah Provinsi Riau di Kota Pekanbaru, Jumat, yang juga dihadiri perwakilan dari TNI dan Polri.

Selama berada di Riau, Kepala BRG akan mengunjungi Desa Teluk Makmur di Kota Dumai karena mendapat informasi mengenai kebakaran lahan di area yang berdekatan dengan lahan percontohan restorasi gambut BRG.

Nasir mengatakan dia akan berdiskusi dengan warga Kota Dumai dan Kabupaten Kepulauan Meranti yang tahun ini lahannya terbakar cukup luas.

"Kami ingin dialog dan evaluasi, kalau ada kekurangan apa yang mesti kami perbaiki, atau sudah cukup tapi kurang luas. Mungkin masyarakat ada aspirasi, jadi kami ingin berdialog dan berdiskusi langsung," ujarnya.

Perihal kebakaran di lahan gambut yang sudah ditanami sagu, tanaman andalan BRG untuk restorasi gambut, Nazir mengatakan bahwa itu bisa terjadi karena proses pembasahan belum maksimal.

"Ditambah karena beberapa hari tidak hujan, permukaan air turun, turun, dan turun, dan lapisan atasnya kering. Kalau ada sumber api, karena orang membakar, atau api lompat dari tempat lain, itu memang kemunginan terbakar. Tapi kalau pembasahan sudah mencapai muka air 40 centimeter, api tidak akan merambat, dipadamkan bagian atasnya cukup," katanya.

Dalam pertemuan itu, Kepala Sub Bidang Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau Mitra Adhimukti berharap BRG bisa mendanai riset-riset tepat guna untuk mempercanggih sistem deteksi dini kebakaran hutan dan lahan. Selama ini, pendeteksian kebakaran hutan bergantung pada citra satelit.

"Ketika hari-hari yang panas, area-area yang terbuka dideteksi sebagai titik panas. Misalnya, lahan konsesi hutan tanaman industri yang sedang panen, akan memantulkan panas yang lebih tinggi, sehingga dideteksi satelit sebagai titik panas. Dan ketika benar terdeteksi titik api, kebakaran sudah terlanjur meluas dan sulit dipadamkan apalagi dilahan gambut," ujarnya.

Ia mengemukakan adanya tawaran dari perusahaan peranti pendeteksi yang terdiri atas tiga kamera pendeteksi, kamera infra merah, kamera pemantau panas, dan kamera biasa yang bisa berputar 360 derajat.

Menurut dia, alat dengan harga per unit Rp2,5 miliar itu bisa mendeteksi kebakaran dalam skala kecil dan koordinatnta dengan akurasi tinggi sehingga tim pemadam kebakaran cepat menuju lokasi kejadian. Namun pengadaan peralatan mahal semacam itu, ia menjelaskan, akan sulit mendapat pembiayaan dari pemerintah provinsi.

"Kita sih harapkan ada Universitas Riau bisa mengembangkannya dan ini butuh dukungan dari pemerintah pusat, dan BRG karena ada anggaran yang besar di sana," katanya.

BRG tahun ini mengalokasikan anggaran sekitar Rp49,5 miliar untuk restorasi gambut di Riau dengan luas area target 140 ribu hektare.

Pewarta: Febrianto Budi Anggoro
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018