Jakarta (ANTARA News) - PT Portanigra, perusahaan yang dinyatakan Mahkamah Agung sebagai pemilik lahan di Meruya Selatan Jakarta Barat, tidak akan memberikan ganti rugi kepada warga yang merasa memiliki aset di lahan yang menjadi sengketa itu. "Untuk ganti rugi, harus diusut terlebih dahulu siapa yang bertanggung jawab," kata kuasa hukum PT Portanigra, Yan Yuanda di Jakarta, Rabu. Menurut dia, sengketa lahan di Meruya Selatan tidak dapat dilepaskan dari ketidakcermatan instansi pertanahan yang menerbitkan sertifikat atas tanah yang sedang menjadi sengketa. Pada 1972 hingga 1973, PT Portanigra membeli lahan di Meruya Selatan seluas 118 hektar dari mandor tanah setempat, yaitu MY Togono, H. Juhri bin Geni, dan Yahya Bin Geni. Meski telah menjual tanah, Juhri bin Geni menjual kembali tanah tersebut kepada sejumlah instansi pemerintah dan perusahaan dengan menggunakan dokumen palsu. Atas perbuatannya itu, Juhri dijatuhi hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Selain itu, Juhri juga berkewajiban mengembalikan aset dan sertifikat tanah kepada PT Portanigra. Seiring waktu, sejumlah kavling, pemukiman, dan perkantoran bermunculan di kawasan yang menjadi sengketa itu. Para pemilik kavling, pemukiman, dan perkantoran itu mengaku memiliki dokumen resmi atas tanah tersebut. Menurut Yuanda, kepemilikan dokumen ganda itu menjadi bukti ketidakcermatan instansi pertanahan dalam menjalankan tugas. Seharusnya, instansi pertanahan tidak menerbitkan dokumen karena mengetahui bahwa lahan di Meruya Selatan sedang dalam sengketa. Untuk itu, katanya, tidak beralasan jika PT Portanigra dijadikan pihak yang harus memberikan ganti rugi tanah dan bangunan kepada warga. "Harus ada instansi-instansi lain yang berperan menangani hal itu," katanya. Dia menegaskan posisi warga dan PT Portanigra adalah sama-sama menjadi korban atas ketidakcermatan instansi pertanahan. Meski mengaku menjadi korban, PT Poranigra belum ada rencana pasti untuk melakukan gugatan hukum. Namun demikian, pada dasarnya pihaknya bersedia bekerja sama dengan rakyat dan DPR untuk menuntut tanggung jawab atas ketidakcermatan tersebut. "Masalah ini muncul kan karena ketidakcermatan itu," katanya. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007