Jakarta (ANTARA News) - Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Kamis sore bergerak melemah sebanyak 64 poin menjadi Rp13.676 dibandingkan sebelumnya pada posisi Rp13.612 per dolar AS.

"Pelemahan mata uang rupiah terhadap dolar AS pada dasarnya memang karena hasil risalah pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) pada 30-31 Januari lalu yang diumumkan dini hari tadi memberi sinyal hawkish terhadap suku bunga The Fed," ujar Analis Valbury Asia Futures, Lukman Leong di Jakarta, Kamis.

Ia mengemukakan The Fed memberi sinyal untuk menaikan suku bunganya didukung sejumlah data ekonomi, diantaranya pasar tenaga kerja dan inflasi yang menunjukan perbaikan.

Ia menambahkan sentimen dari beberapa bank sentral negara maju yang cenderung melakukan pengetatan kebijakan juga turut membuat jarak antara suku bunga di dalam negeri dengan negara maju semakin tipis.

"Faktor domestik masih belum mendukung penguatan rupiah menyusul perkiraan pertumbuhan ekonomi yang belum maksimal, dimana membuat BI 7-day Reverse Repo Rate tidak akan dinaikan dalam waktu dekat. Situasi itu, membuat yield instrumen investasi di dalam negeri menjadi kurang menarik," katanya.



Kendati demikian, menurut dia, fluktuasi mata uang rupiah di pasar valas relatif masih kondusif seiring dengan adanya penjagaan dari Bank Indonesia, situasi itu cukup membuat pelaku pasar tidak khawatir.

"Yang penting fluktuasi rupiah di pasar tidak bergejolak dengan kisaran yang lebar," katanya.

Di sisi lain, kata dia, lelang obligasi pemerintah yang melebihi penawaran yang ditetapkan juga turut menjaga pergerakan rupiah. Pemerintah telah menyerap Rp8,47 triliun dari lelang SBSN, dengan total penawaran yang masuk sebesar Rp13,3 triliun.

Sementara itu, dalam kurs tengah Bank Indonesia (BI) pada Kamis (22/2) mencatat nilai tukar rupiah bergerak melemah ke posisi Rp13.665 dibandingkan posisi sebelumnya Rp13.582 per dolar AS.

Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018