Jakarta (ANTARA News) - KTP, Kartu Keluarga, akta lahir dan dokumen lainnya yang menjadi identitas hukum telah dinyatakan gratis oleh pemerintah, namun masyarakat miskin belum tersentuh sehingga banyak yang belum melengkapi diri dengan surat-surat tersebut.


"Penerbitan identitas hukum memang gratis, namun pelayanan hingga tingkat desa tidak ada, ini menyebabkan pengurusan identitas hukum tetap menguras biaya," ungkap Kelompok Kerja Masyarakat Sipil untuk Identitas Hukum (Pokja Identitas Hukum) dalam siaran pers.
Pokja Identitas Hukum dicanangkan pada Rabu 21 Februari 2018 di Jakarta beranggotakan enam lembaga/ organisasi : Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA); Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI); Kemitraan - Partnership for Governance Reform;nLBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK); Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA); dan Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi (GANDI).
Kondisi masyarakat miskin dan kelompok marjinal yang belum tersentuh pelayanan kependudukan dan catatan sipil, menurut pokja tersebut diperburuk lemahnya koordinasi antarsektor.
Di sisi lain, pokja memberikan apresiasi kepada pemerintah dalam memenuhi identitas hukum, khususnya penerbitan KTP-el dan akta kelahiran anak.
Menurut Kementerian Dalam Negeri, saat ini jumlah penduduk wajib KTP yang telah melakukan perekaman KTP-el adalah 97.4%. Sisanya, 2.6 persen ditargetkan selesai pada triwulan pertama tahun 2018.
Pemerintah Indonesia juga juga telah mencapai target RPJMN 2015 – 2019, yakni 85% cakupan akta kelahiran anak pada tahun 2017.
Pokja Identitas Hukum yang merupakan kumpulan organisasi masyarakat sipil yang peduli isu-isu identitas hukum, terbentuk guna membangun kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat sipil dengan menjadi mitra kritis pemerintah dalam mengawal pemenuhan identitas hukum.
Pada pencanangan pokja, hadir Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Prof. Dr. Zudan Arif Fakhrulloh yang memberikan pidato kunci, mewakili Kementerian Dalam Negeri.
Pada kesempatan itu, Pokja Identitas Hukum menyelenggarakan diskusi panel dengan tema yang sama, menghadirkan narasumber dari Kementerian Dalam Negeri, Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) dan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA).
Hingga hari pencanangannya, Pokja Identitas Hukum (berdasarkan kronologi keterlibatannya) beranggotakan lembaga/organisasi sebagai berikut:
Selanjutnya, pokja menyimpulkan identitas hukum belum sepenuhnya terkonsolidasi dengan baik, salah satu penyebab adalah vakumnya Konsorsium Catatan Sipil, konsorsium multi pemangku kepentingan yang menggagas Undang-Undang Catatan Sipil (yang kemudian menjadi bagian UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan).
Menurut Pokja Identitas hukum, masalah tersebut mencapai puncak ketika revisi pertama Undang-Undang Administrasi Kependudukan, dilakukan pemerintah nyaris tanpa pengawalan dari masyarakat sipil.
"Publik terkesiap ketika revisi UU tersebut disahkan dengan meninggalkan begitu banyak persoalan administrasi kependudukan yang tak tertampung dalam peraturan yang ada," tulis pokja tersebut.
Hal ini berbeda dengan perdebatan sengit di pertengahan tahun 2000-an ketika UU Administrasi Kependudukan, untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, dibahas dan diperdebatkan di DPR.
Pokja menyatakan akan terus mendukung pemerintah menelurkan kebijakan-kebijakan yang inklusif, non diskriminatif dan akuntabel agar semua penduduk dari berbagai kelompok sosial-ekonomi, etnis, agama, keyakinan dan jender mendapatkan identitas hukum.
Pokja mengandalkan mengandalkan bukti-bukti empiris sebagai basis argumentasi dan mendorong munculnya diskursus berbasis bukti. Dengan begitu, berbagai rekomendasi Pokja kepada Pemerintah akan selalu dapat diuji secara ilmiah.

Pewarta: -
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018