"Memang sudah di meja saya, dan belum saya tandatangani. Sampai saat ini belum saya tandatangani karena saya ingin agar ada kajian-kajian apakah perlu tanda tangan atau tidak," kata Jokowi ditemui usai acara Dzikir Kebangsaan dan Peresmian Pembukaan Rapat Kerja Nasional I Majelis Dzikir Hubbul Wathon di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, pada Rabu.
Menurut Presiden, kajian itu diperlukan sebagai respon atas sejumlah keresahan yang terjadi di masyarakat terkait UU MD3 tersebut.
Kepala Negara memahami banyak masyarakat yang mengkhawatirkan terjadi tumpang tindih antara hukum, etika dan politik dalam undang-undang tersebut.
"Saya kira kita semuanya tidak ingin ada penurunan kualitas demokrasi kita," kata Jokowi.
Presiden juga mempersilahkan kepada masyarakat yang tidak setuju atas peraturan tersebut untuk melakukan sesuai dengan jalan hukum yang berlaku melalui uji materi atau "judicial review" melalui Mahkamah Konstitusi.
Kendati Presiden tidak menandatangani UU MD3 tersebut, namun undang-undang tersebut tetap sah mengingat aturan bahwa RUU yang tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak disetujui, maka RUU tersebut sah menjadi UU.
Dalam rapat paripurna DPR pada Senin (12/2), disepakati perubahan ke-2 UU MD3 dengan beberapa perubahan yaitu penambahan jumlah pimpinan yaitu tiga di MPR, satu di DPR, dan satu di DPD, kedua mekanisme pemanggilan paksa terhadap pejabat negara atau masyarakat dengan melibatkan aparat kepolisian.
Terdapat beberapa pasal UU MD3 yang menjadi sorotan publik yaitu Pasal 245 dinyatakan, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Selanjutnya Pasal 122, DPR memberikan kewenangan kepada MKD untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang, kelompok, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR dan Pasal 73, DPR memiliki kewenangan memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat secara paksa dengan ancaman sandera.
Pewarta: Bayu Prasetyo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018