“Indonesia sebetulnya siap tidak siap harus siap. Karena di dunia arahnya sudah ke sana. Dan di kita sudah ada, seperti start up yang tumbuh. Kuncinya kan punya pasar yang besar,” kata Airlangga di Jakarta, Rabu.
Menperin menyampaikan hal itu saat memberi sambutan pada Seminar Nasional bertajuk “Quo Vadis Ekonomi Digital Indonesia” di Jakarta.
Menurut Airlangga, usaha rintisan atau start up yang masuk pasar online saat ini mencapai 4 juta dengan pasar sekitar 15 juta di Indonesia, di mana kondisi seperti ini belum tentu terjadi di negara lain.
“Oleh karena itu perusahaan-perusahaan yang berbasis Teknologi Informasi (IT) di Indonesia menjadi perusahaan yang market kapitalnya besar,” ujar Airlangga.
Kendati demikian, Indonesia masih memiliki tantangan dibidang ficancial technology (fintech), di mana saat ini masih lebih banyak fintech global yang yang berinvestasi untuk usaha rintisan tanah air.
“Jadi, ini salah satu tantangan. Karena kita harus mendorong industri-industri keuangan disektor ini.
Airlangga menyampaikan bahwa regulasi untuk fintech berbeda dengan sistem perbankan, sehingga perlu diselaraskan dengan kondisi di era degital.
“Nah salah satu regulasi yang harus kita perbaiki adalah fintech itu kan less regulator. Regulasinya berbeda dengan perbankan, di mana yang di finance adalah start up yang ini profit n loss nya, kalau dari peraturan perbankan itu tidak bisa memberi pembiayaan pada perusahaan rugi,” ungkapnya.
Di sektor manufaktur, Kemenperin akan memilih empat industri sebagai percontohan penerapan era digital, di antaranya industri makanan dan minuman, industri otomotif, industri kimia dan industri elektronika
“Nah, percontohan aplikasi ini nanti akan dilihat oleh industri-industri lain. Sesudah menerapkan industry 4.0. Revolusi industri keempat itu mereka bisa berhemat berapa, nanti dilihat,” tukasnya.
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018