"Kami minta segera diselesaikan. Karena korbannya ulama, kasus itu mudah menyulut kemarahan umat," kata Din seusai Rapat Pleno Dewan Pertimbangan MUI di Jakarta, Rabu.
Din khawatir bila kasus tersebut tidak segera diselesaikan bisa menimbulkan reaksi umat Islam yang tidak proporsional serta saling tuding antara umat agama satu dengan yang lain.
Din mengatakan rentetan kekerasan yang menimpa ulama, tokoh agama dan tempat ibadah pada akhirnya memunculkan persepsi di masyarakat bahwa kasus tersebut tidak berdiri sendiri.
Pendapat resmi MUI sebagai institusi juga menyimpulkan kasus kekerasan terhadap ulama merupakan bagian dari rekayasa sistematis.
"Saya sebagai ketua dewan pertimbangan juga menyampaikan hal yang sama. Logika kami mungkin salah. Namun, logika kami menyimpulkan ada rekayasa dan rekayasa yang canggih itu membuat kasus-kasus itu seolah-olah berdiri sendiri," tuturnya.
Rapat Pleno Dewan Pertimbangan MUI menghadirkan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius dan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto.
Din mengatakan para anggota Dewan Pertimbangan MUI bisa menerima penjelasan dari BNPT dan Bareskrim Polri meskipun tentu ada beberapa hal yang belum memuaskan.
"Kepala BNPT dan Kabareskrim menjelaskan tidak ada niat yang tidak baik yang mengarah pada kebencian terhadap umat Islam," katanya.
Sementara itu, Kabareskrim Polri Ari Dono mengatakan dari Desember 2017 hingga Februari 2018 terdapat 21 kejadian kekerasan yang berkaitan dengan tokoh agama dan rumah ibadah.
"Tidak semua dilakukan oleh orang gila. Ada juga karena keramaian di media sosial, orang menjadi paranoid. Jangan menganalisis dari media sosial, tetapi berdasarkan fakta supaya ketemu," katanya.
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018