Jakarta (ANTARA News) - Pelonggaran kebijakan makroprudensial pada 2018 menjadi tumpuan untuk memulihkan penyaluran kredit perbankan yang dalam beberapa tahun terakhir terus melemah di bawah 10 persen, kata Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo.
Agus di Jakarta, Rabu, mengakui pertumbuhan kredit perbankan dalam dua tahun terkahir jauh dari harapan. Pada 2016, pertumbuhan kredit hanya sebesar 7,8 persen (yoy) dan pada 2017 hanya tumbuh 8,2 persen (yoy).
"BI akan menyikapi itu dengan kebijakan makroprudensial. Salah satunya dengan Rasio Intermedasi Makroprudensial Perbankan (RIMP) dengan rasio 80-92 persen," kata Agus di Perbanas.
RIMP dengan rasio 80-92 persen merupakan penyempurnaan dari ketentuan rasio kredit terhadap Pendanaan dan Dana Pihak Ketiga atau Loan To Funding Ratio (LFR). Dalam RIMP, BI menambah komponen perhitungan kredit dengan pembelian yang dilakukan bank terhadap obligasi korporasi, sehingga unsur kredit akan lebih besar.
Selain itu, kata Agus, pihaknya juga akan menerapkan kebijakan bantalan likuiditas makroprudensial untuk menyempurnakan Giro Wajib Minimum Sekunder.
"Sehingga bank-bank itu kalau mau ekspansi dia jaga likuiditas, dan likudiitas-nya akan menghasilkan karena bisa ditanam dalam surat berharga negara, tetapi kalau diperlukan mereka juga bisa melakukan Repo ke BI," kata Agus.
Untuk menjaga pendanaan perbankan, kata Agus, BI juga sudah mengeluarkan kebijakan hukum untuk penerbitan NCD, sehingga bank memiliki alternatif untuk mencari pendanaan melalui instrumen surat utang.
"Kami sudah mengeluarkan terkait kebijakan Negotiable Certificate of Deposit (NCD). Lalu kami juga ingin supaya masyarakat, khususnya bagi para peminjam atau korporasi yang meminjam dalam valuta asing jangan sampai terekspos risiko nilai tukar, jadi kita upayakan ada lindung nilai," kata Agus.
BI mengincar pertumbuhan kredit pada 2018 sebesar 10-12 persen (yoy).
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018