Hymes, gadis berusia 13 tahun yang suka menari dan bermain piano, menulis cerita bagaimana Australia membuat undang-undang pengawasan senjata, pada poster yang dia bawa ke Gedung Putih pekan ini bersama dengan puluhan pelajar lainnya yang menuntut pengawasan kepemilikan senjata api yang lebih ketat.
Kebanyakan pelajar membuat slogan singkat-singkat semisal "Sayakah giliran nanti?" atau "Ketakutan tak punya tempat di sekolah".
Tetapi Hymes, pelajar sebuah SMP di Washington DC, ingin rakyat Amerika tahu bagaimana (mantan perdana menteri Australia) John Howard menanggapi pembantaian di Port Arthur dua dekade silam.
"Australia mengalami penembakkan massal paling buruk pada 28 April 1996," tulis Hymes dalam posternya.
"Pemerintah (Australia) menarik kembali dan menghancurkan sekitar satu juta senjata," tulis Hymes lagi. "Sejak itu Australia tak pernah lagi mengalami penembakkan massal."
Baca juga: Trump dituduh memecah belah bangsa oleh pelajar SMA Marjory
Para pelajar seperti Hymes berunjuk rasa menentang undang-undang kepemilikan senjata api yang saat ini berlaku di AS, menyusul pembantaian sebuah SMA di Florida yang menewaskan 17 orang.
Si remaja pembunuh menggunakan senapan serbu AR-15 yang merupakan senjata yang sama digunakan dalam enam penembakan massal di AS termasuk di Las Vegas, Sandy Hook dan Orlando. Senjata jenis ini dilarang digunakan di Australia, kecuali oleh militer.
Hymes adalah salah seorang anak muda yang berunjuk rasa Senin waktu AS untuk menekan Donald Trump agar tak lagi menolak pengetatan kepemilikan senjata.
"Menurut saya jika orang mengetahui apa yang dilakukan negara-negara lain maka mereka seharusnya sadar kita jauh tertinggal di belakang," kata Hymes kepada Fairfax Media ketika dia ditanya mengapa dia mengajak rakyat Amerika belajar dari Australia.
Demonstrasi nasional yang lebih besar akan digelar pada 24 Maret di Washington, demikian The Age.
Baca juga: Beda jauh ekspresi Trump dan Obama tanggapi pembantaian sekolah
Pewarta: -
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2018