Jakarta (ANTARA News) - Mantan Sekretaris Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas) Letjen (Purn) Soeyono mensinyalir adanya "grand design" di belakang pengibaran bendera separatis Republik Maluku Selatan (RMS) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM), paling tidak untuk mendiskreditkan pemerintah. "Kita semua jangan lengah. Meski Aceh sudah damai, ancaman separatisme masih laten di Maluku dan Papua," katanya di Jakarta, Selasa, mengomentari kasus penari cakalele di Ambon dan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua. Menurut Soeyono, peristiwa pengibaran bendera RMS dan Bintang Kejora tidak bisa dianggap remeh atau tindakan spontanitas, apalagi sekedar imitasi atau kelatahan. "Pasti ini ada yang ngatur, bisa pihak dalam atau luar negeri. Tindakan 25 penari yang menyusup dan lolos dari tiga ring pengamanan berlapis, tidak bisa dikatakan spontan. Pasti sudah direncanakan matang jauh-jauh hari. Ini ada grand designnya," katanya. Plt Kabid Humas Polda Maluku, Kompol Djoko Susilo, sebelumnya mengatakan tarian Cakalele liar di depan Persiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah direncanakan matang dengan koordinatornya Yoyo Teterissa sejak sebulan lalu. Mereka sudah latihan sebanyak empat kali di Desa Aboru, Pulau Haruku (Maluku Tengah). Para simpatisan RMS ini memantapkan persiapan aksinya di Desa Hutumuri, Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon sehingga Kades-nya, Ferdinand Waas diduga terlibat dan saat ini ditetapkan juga sebagai tersangka. Mereka juga melaksanakan rapat di rumah Ny Lieke Saiya di Batugantung, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, Kamis malam (28/6), selanjutnya berkumpul di pagar-pagar Jl. Tulukabessy, Mardika, Kecamatan Sirimau, Jumat pagi(29/6), sekitar pukul 05.30 WIT untuk ke lapangan Merdeka sebagai pusat peringatan Harganas XIV. Djoko memastikan, dari pengembangan penyelidikan terungkap pimpinan eksekutif RMS, dr. Alexander Manuputty yang saat ini melarikan diri di Amerika Serikat merupakan salah satu "aktor intelektual" di balik peragaan tarian cakakele yang tidak ada dalam agenda acara peringatan Harganas XIV. Terkait dengan itu mantan Kasum ABRI itu meminta aparat keamanan untuk membuktikan "grand design" ini dan tidak saling menyalahkan satu sama lain. Operasi pengamanan Presiden dan Wakil Presiden harus disempurnakan lagi, karena ada celah-celah yang bisa membahayakan Kepala Negara. Soeyono memberi contoh, tindakan membuka dan menutup jendela mobil kepresidenan yang tahan peluru tidak sesuai dengan prosedur pengamanan VVIP. "Membuka jendela untuk melambaikan tangan kepada para penyambut mengundang risiko keamanan bagi Presiden. Sebaiknya, itu tidak dilakukan. Bagaimana kalau ada penembak jitu?" kata ajudan mantan Presiden Soeharto itu. Soeyono yang juga Ketua Umum MKGR membantah bahwa Sekretaris Daerah Propinsi Maluku Assagaf yang menjadi panitia kegiatan Harganas XIV adalah Ketua DPD MKGR Maluku. "Saudara Assagaf adalah anak buah dari MKGR ilegal, bukan MKGR yang saya pimpin," demikian Soeyono.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007