Denpasar (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia harus mampu melakukan pendekatan atau melobi Uni Eropa (UE), dengan menjelaskan tentang berbagai langkah yang hendak ditempuh, khususnya terkait dengan keselamatan penerbangan.
Hal itu penting dilakukan secepatnya, karena Eropa sendiri belum tahu langkah apa yang diambil dalam membenahi masalah penerbangan di Indonesia, kata pengamat pariwisata, Dewa Rai Budiasa, di Denpasar, Senin.
Ia mengatakan itu menanggapi rencana pelarangan "daftar hitam" 51 maskapai Indonesia, termasuk Garuda Indonesia, dari wilayah udara Eropa karena alasan keselamatan dan keamanan penerbangan.
Pengusaha Biro Perjalanan Wisata di Jakarta ini mengaku yakin Komite Ahli UE belum mendengar penjelasan tentang berbagai langkah yang hendak ditempuh pemerintah Indonesia, khususnya terkait dengan keselamatan penerbangan.
"Kecuali mereka sudah mendengar penjelasan kita dan kemudian bersikap, itu wajar. Ini kan belum. Pemerintah sendiri secara terbuka menjelaskan ke publik tentang upaya-upaya yang sedang dan akan ditempuh," katanya.
Pemerintah harus sesegera mungkin bisa memberikan penjelasan tersebut kepada Uni Eropa, termasuk melalui jalur diplomatik. "Pokoknya lebih cepat, lebih baik," katanya seraya mengingatkan, bahwa masalah penerbangan akan berdampak pada dunia pariwisata di Indonesia.
Rencana pelarangan yang diusulkan ahli Uni Eropa pekan lalu dan direncanakan akan efektif berlaku sejak 6 Juli, menyusul serangkaian kejadian kecelakaan pesawat di Indonesia pada awal tahun belakangan ini.
Jika larangan itu benar-benar terjadi, bagi penerbangan Indonesia merupakan ancaman besar, bahkan lebih mengkhawatirkan dari tragedi bom Bali beberapa tahun lalu, sebab tidak saja berpengaruh pada kunjungan turis Eroa, tetapi juga asal negara lain, kata Dewa Rai.
Wisatawan mancanegara asal Eropa belakangan semakin banyak yang berlibur ke Indonesia. Mereka (turis Eropa) tidak saja datang ke Bali, tetapi kemudian juga ke berbagai daerah di Nusantara. Karena itu akan mendapat hambatan datang ke negeri ini jika larangan tersebut diterapkan.
Ia mencontohkan saat ini banyak orang Eropa ingin berlibur ke Bali, namun harus singgah dulu ke Singapura dan menggunakan pesawat luar negeri untuk masuk ke Bali. Begitu pula kembalinya, ini tentu akan menjadi lebih repot. (*)
Copyright © ANTARA 2007