Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi III DPR, Almuzzammil Yusuf, berpendapat DPR perlu meminta klarifikasi kepada pemerintah, khususnya pimpinan TNI, Polri dan Badan Intelijen Negara (BIN) terkait "Insiden Ambon" pada Jumat (29/6), yang melibatkan simpatisan Republik Maluku Selatan (RMS). "Penting bagi Komisi I dan III DPR secara bersama-sama mengundang Rapat Kerja dengan Menko Polhukam beserta Panglima TNI, Kapolri, dan Kepala BIN untuk mendapatkan klarifikasi terhadap kasus RMS itu," katanya di Jakarta, Senin. "Insiden Ambon" terjadi pada Jumat (29/6), seusai Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu menyampaikan laporan pada peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) di Lapangan Merdeka, Ambon, yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu tiba-tiba muncul sekitar 30 orang dengan pakaian adat Maluku yang menari Cakalele, padahal kegiatan tersebut sama sekali tidak tercantum dalam rencana kegiatan oleh panitia. Para penari kedapatan membawa bendera RMS yang akan dikibarkan pada tarian ini, namun sebelum terlaksana berhasil digagalkan aparat keamanan yang langsung membubarkan tarian itu. Almuzzammil menegaskan bahwa separatisme sama dengan kejahatan terhadap negara. Pasal 106 KUHP, katanya, menyebutkan bahwa "Makar" dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, dapat diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara selama 20 tahun. "Masalah ini masuk dalam 'kejahatan negara', karena itu pemerintah serta aparat pertahanan dan keamanan tidak perlu ragu menegakkan hukum dan kedaulatan Bangsa," katanya. Menurut dia, tekanan dan campur tangan pihak asing dalam isu-isu separatis tidak akan ada pendukung yang berarti di dalam negeri. "Saya yakin, DPR dan masyarakat akan solid mem-`back up` pemerintah," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2007