Jakarta (ANTARA News) - Peritel yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mempertanyakan alasan pemerintah yang akan membatasi produk private label (bermerek toko) yang bisa dijual di toko mereka. "Boleh-boleh saja dibatasi tapi dasarnya dari mana perhitungannya, kenapa bisa 10 persen atau lima persen, dan kenapa juga harus dibatasi. Kita ingin tahu alasannya dan dasar dari perhitungan itu semua," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta ketika dihubungi akhir pekan ini di Jakarta. Ia mengatakan hal itu menanggapi isi salah satu pasal draf Perpres soal Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern yang membatasi jumlah produk private label yang dijual di toko masing-masing. Dalam pembahasan sebelumnya telah disepakati jumlah produk private label berkisar antara dua hingga 10 persen, namun kemudian disepakati hanya maksimal lima persen. Menurut Tutum, harus ada pertimbangan yang kuat untuk membuat pelarangan tersebut sehingga pihaknya juga bisa menerima alasan yang dikemukakan. Hal sama juga dikemukakan Humas Alfamart Didit Setiadi yang mempertanyakan apa dasar dari pembatasan tersebut. "Apa sih semangat pemerintah untuk hal ini," katanya. Kalau pun kemudian dibatasi, katanya, siapa yang kemudian akan mengawasinya dan menghitung apakah satu ritel sudah memenuhi ketentuan atau tidak. Produk merek toko pada dasarnya, menurut dia, dibuat untuk memberi pilihan yang semakin beragam ke konsumen dengan harga bersaing. Kalau sebelumnya pilihannya terbatas di satu produk, kini pilihannya menjadi beragam. Di sisi produsen pun, pasarnya semakin berkembang baik untuk produsen yang memang belum mempunyai merek atau pun yang sudah. Khusus yang sudah bermerek biasanya, menurut Didit, mereka ingin memperluas market sharenya tanpa harus membuat merek baru. "Mereka lalu bekerjasama dengan peritel untuk membuat produk dengan merek toko," katanya. Private label, menurut Tutum, kini sudah menjadi trend perdagangan di seluruh dunia dan jika nantinya ada pembatasan apakah juga tidak melanggar ketentuan-ketentuan internasional seperti WTO. Trend seperti itu, katanya, karena peritel ingin menarik loyalitas konsumen dan juga memperoleh keuntungan. "Kalau private label ini tidak menguntungkan perusahaan tentu tidak mungkin mereka membuat dan menjual produk dengan merek toko," katanya. Mekanisme dagang yaitu untung dan rugi menjadi prinsip dalam penjualan produk private label, dan karena itu, menurut dia, pemerintah jangan terlalu mencampuri masalah ini. "Yang pasti semua perusahaan itu akan mencari sumber yang murah," katanya. Karena itu, peritel tidak membatasi produk apa saja yang bisa diprivatelabelkan" sepanjang itu sesuai dengan keinginan perusahaan dan menguntungkan maka produk itu akan diberi merek toko. Jadi bisa saja produk itu berasal dari UKM atau dari produsen lainnya yang selama ini telah memproduksi produk bermerek. Produk-produk itu juga bisa merupakan barang impor. Mengenai apakah harus ada pembatasan hanya produk tertentu yang bisa diprivatelabelkan untuk melindungi produk dalam negeri, Tutum juga mempertanyakan masalah itu karena istilah private label sangat luas. Bahkan bisa juga untuk produk impor baik yang bermerek atau tidak, yang kemudian dipasok ke ritel dengan menggunakan merek pengimpor di dalam negeri juga bisa dimasukkan sebagai private label. "Kalau kemudian ini dibatasi dan produk seperti itu tidak boleh masuk ke ritel modern, tapi bisa dijual di toko lainnya, apakah ini juga fair," katanya. Demikian juga dengan masalah trading term dan listing fee yang tidak dikenakan ke produk private label, menurut dia, bukan suatu masalah. Banyak ritel yang menerapkan syarat perdagangan tersebut dengan biaya tinggi, namun ada juga yang tidak, dan ternyata pemasok tetap memasok produknya ke peritel yang menetapkan biaya tinggi. "Kenapa itu bisa terjadi, kenapa yang murah malah tidak diminati," demikian Tutum. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007