Surabaya (ANTARA News) - Mantan Menteri Sekretaris Negera (Mensesneg) Yusril Ihza Mahendra menilai kelompok Republik Maluku Selatan (RMS) sebenarnya tak besar gerakannya, tapi mereka tak bisa dianggap "enteng" (sepele). "Gerakan mereka tak besar, tapi mereka bisa memanfaatkan momentum untuk menunjukkan eksistensinya, apalagi tokoh-tokoh mereka di Maluku dan Belanda masih ada," ujarnya di Surabaya, Minggu. Usai berbicara dalam peringatan Milad IX PBB yang digelar DPW PBB Jatim di Surabaya, Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang itu menjelaskan penyusupan RMS saat kunjungan Presiden Susilo Bambang YUdhoyono ke Maluku merupakan tanggungjawab TNI, bukan Polri. "Pengamanan presiden itu ada pada tanggungjawab TNI, bukan Polri, karena di bawah koordinasi Paspamres melalui koordinasi Setneg dan Setmil dengan berbagai pihak, termasuk polisi," tegasnya. Menurut ahli hukum tata negara itu, semua pihak seharusnya berupaya agar jangan sampai RMS menjadi isu yang selalu muncul dan menghabiskan energi akibat kepandaian mereka memanfaatkan setiap momentum. "Tetapi, saya nggak bisa masuk ke wilayah itu (orang yang harus dimintai pertanggungjawaban)," ungkap mantan pejabat yang memiliki kontribusi dalam perdamaian di Aceh itu. Di hadapan aktifis PBB se-Jatim, mantan Menkumham yang kelahiran Belitung pada 5 Februari 1956 itu menegaskan bahwa penerapan syariat Islam di Indonesia tak perlu dirisaukan. "Ada atau tidak ada syariat Islam seperti Piagam Jakarta, saya kira syariat Islam akan tetap jalan terus, karena itu tak perlu dirisaukan," paparnya. Bahkan, katanya, syariat Islam saat ini lebih berjalan dibandingkan di masa lalu, karena syariat Islam sudah mulai diterapkan di Tanah Air, meski tidak bersifat formal. "Yang formal di Aceh ada syariat Islam, sedangkan UU Kepailitan juga menerapkan syariat Islam, meski tidak ada ayat-ayat di dalamnya. Kita juga sudah punya UU Zakat, UU Haji, dan banyak lagi," ucapnya. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa syariat Islam tak perlu diperjuangkan secara "merek", namun harus diperjuangkan secara politik untuk menjadi pijakan dalam prinsip-prinsip bernegara. (*)
Copyright © ANTARA 2007