"Jangan sampai (bitcoin) itu jadi gelembung dan pecah. Ujungnya masyarakat yang dirugikan," kata Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan dalam keterangan tertulis, Rabu.
Menurut Heri, bitcoin bila dibiarkan begitu saja bisa menjadi seperti fenomena batu akik yang dahulu heboh di awal sehingga harganya melambung, tetapi kini nilainya jadi biasa saja.
Politisi Gerindra itu berpendapat, risiko penggunaan mata uang seperti bitcoin tidak boleh dipandang remeh, karena sebagai aset digital, nilai fundamental bitcoin belum bisa dievaluasi dan harga normalnya juga tidak diketahui secara pasti.
Dengan kata lain, lanjutnya, nilai bitcoin selama ini ditentukan oleh spekulasi pasar, dan masih belum jelas faktor penentu naik turunnya nilai bitcoin.
"Dalam regulasi yang ada, bitcoin ditolak sebagai mata uang atau alat pembayaran di Indonesia. Sebab, dalam regulasi di Indonesia, tidak mengenal alat pembayaran yang sah dengan nama bitcoin," paparnya.
Untuk itu, ia menegaskan bahwa bitcoin bermasalah secara legalitas, karena tak memiliki payung hukum sama sekali sebagai alat pembayaran yang sah, serta tidak memiliki administratur resmi.
Instrumen ini juga tidak dapat dikatakan aset keuangan seperti saham karena tidak ada faktor "underlying asset" sehingga sangat fluktuatif dan rentan terhadap risiko penggelembungan.
"Risiko lainnya adalah potensi adanya dugaan pencucian uang, asusila, sampai terorisme, bahkan untuk perdagangan obat terlarang," paparnya.
Sebelumnya, Bank Indonesia kembali mengingatkan larangan keras untuk bertransaksi dengan mata uang krypto, salah satunya Bitcoin, karena tidak adanya otoritas sentral di mata uang tersebut dapat membahayakan stabilitas sistem keuangan.
"Yang paling bahaya dari bitcoin bagi stabilitas adalah proses penciptaan uangnya yang berlebihan. Nilai bitcoin kini naik 164 kali, maka jumlah yang beredar terus bertambah. Uang dibuat hanya untuk melayani uang. Nanti uang tidak ada harganya karena jumlah yang berlimpah," kata Kepala Pusat Transformasi BI Onny Widjanarko, Senin (15/1).
Bitcoin merupakan mata uang krypto atau mata uang digital dengan pangsa pasar terbesar di dunia, yakni 33 persen atau jika dikapitalisasikan sebesar 246 miliar dolar AS. Secara total, menurut kajian Coinmarketcap, terdapat 1400 mata uang digital saat ini di dunia, dengan yang terbesar adalah bitcoin dan etherum.
Sebagaimana diwartakan, Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia Cholil Nafis secara pribadi menanggapi soal hukum halal dan haram bitcoin yang menjadi alat tukar daring dan sebagai sarana investasi masyarakat.
"Kalau sebagai alat tukar yang penting mau menerimanya `it`s okay`. Tapi kalau jadi mata uang kita mengikuti standar pemerintah dengan Indonesia tidak memperbolehkan tukar uang selain pakai rupiah," kata Cholil ditemui usai menghadiri Tasyakuran Milad ke-5 Indonesia Halal Watch, Jakarta, Rabu (24/1).
Dia mengibaratkan bitcoin sebagai alat tukar itu sebagaimana menjadikannya seperti kupon atau hadiah poin. Saat seseorang mendapatkan "reward" poin maka dia bisa menukarnya dengan sesuatu. Hal itu juga berlaku bagi bitcoin tapi berbeda jika membuatnya menggantikan sebagai mata uang pengganti.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018