Sampit, Kalteng (ANTARA News) - Warga di pedalaman Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalteng, banyak yang tidak sanggup pergi berurusan ke Sampit, ibu kota kabupaten, karena sulitnya medan dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan.
"Kalau ada urusan di Sampit, setiap warga harus mengeluarkan biaya sekitar Rp6,4 juta hanya untuk biaya transportasi, belum lagi biaya makan dan penginapan. Makanya banyak warga kami yang belum mengurus administrasi kependudukan," kata Kepala Desa Tumbang Gagu Kecamatan Antang Kalang, Timbang di Sampit, Rabu.
Tumbang Gagu merupakan desa paling atas atau hulu dan paling ujung di Kotawaringin Timur. Desa ini berbatasan dengan Kecamatan Katingan Hulu Kabupaten Katingan.
Desa yang dihuni sekitar 600 jiwa yang tersebar di empat rukun tetangga itu, belum terhubung jalan darat Kotawaringin Timur. Desa ini malah mudah diakses melalui kabupaten tetangga yakni Kabupaten Katingan.
Jika ingin ke Sampit, warga harus menaiki perahu motor yang sering disebut ces selama empat jam. Selain harus mengeluarkan biaya Rp3 juta sekali berangkat, warga juga harus melalui riam-riam ganas yang bisa mengancam keselamatan.
Saat kemarau, terkadang warga harus berjalan cukup jauh jika ada riam yang sulit dilewati sehingga ces harus ditarik. Pernah terjadi kecelakaan yang menyebabkan semua barang belanjaan rusak karena ces terbalik, untungnya tidak sampai menelan korban jiwa.
Sampai di pusat Kecamatan Antang Kalang, warga harus melanjutkan perjalanan menggunakan angkutan umum dengan tarif Rp200.000 per orang. Jika kemarau, waktu tempuh antara lima hingga enam jam, namun jika musim hujan maka waktu tempuh bisa lebih lama, bahkan bisa harus bermalam jika mobil terjebak ambles karena jalan licin dan berlumpur.
Menurut Timbang, kondisi itulah yang membuat banyak warganya jarang ke Sampit. Bahkan untuk kegiatan sehari-hari, warga justru lebih banyak ke kabupaten tetangga karena jaraknya sangat dekat.
"Warga berbelanja ke Kabupaten Katingan. Jaraknya hanya sekitar enam kilometer menuju Desa Penda Tanggaring Kecamatan Katingan Hulu, jadi cukup naik ojek motor. Aktivitas warga justru banyak ke Katingan," kata Timbang.
Beratnya kondisi itulah yang membuat pembangunan berjalan lamban sehingga Desa Tumbang Gagu belum bisa lepas dari status sebagai desa tertinggal. Fasilitas serta tenaga kesehatan dan pendidikan juga masih kurang.
Timbang tidak menyalahkan pemerintah karena kondisinya memang seperti itu. Namun dia dan masyarakatnya berharap pembangunan desa mereka menjadi prioritas agar kemajuan desa dan kesejahteraan masyarakat bisa meningkat.
Bupati Kotawaringin Timur H Supian Hadi dalam beberapa kesempatan mengakui kondisi itu. Menurutnya, berbagai kendala masih dihadapi pemerintah daerah untuk membuka keterisolasian jalan darat menuju Desa Tumbang Gagu dan desa lainnya, salah satunya adalah status kawasannya masih berstatus kawasan hutan.
"Aturan tidak memperbolehkan membangun di lahan yang statusnya masih kawasan hutan. Kami bahkan pernah mengusulkan melalui program Tentara Manunggal Membangun Desa, tetap saja tidak bisa. Tapi ini menjadi perhatian serius pemerintah daerah dan kami terus memperjuangkannya," tegas Supian.
Supian mengakui masih ada sejumlah desa yang belum bisa ditembus jalan darat akibat kendala yang sama. Pemerintah daerah masih mengusulkan pengukuhan kawasan hutan sehingga jika disetujui maka pembangunan jalan dan fasilitas publik lainnya bisa dilakukan.
Dia berharap pemerintah pusat memperhatikan kondisi yang dihadapi masyarakat pelosok Kotawaringin Timur. Jangan sampai pembangunan terhambat karena lambannya respons pemerintah pusat terkait masalah itu.
Pewarta: Norjani
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018