"Kami tahun lalu juga telah melakukan penelitian dan pengumpulan kosa kata budaya masyarakat Baduy dan istilah-istilah kuliner Banten," kata Nondi Sopandi, staf Kantor Bahasa Provinsi Banten, di Lebak, Rabu.
Baduy telah menjadi ikon Kabupaten Lebak dan Provinsi Banten karena mereka konsisten mempertahankan adat budaya leluhurnya.
Di antara kekonsistenan mereka adalah tinggal di permukiman tanah hak ulayat di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, di mana jalan-jalannya tidak beraspal, tanpa jembatan beton, tanpa listrik, tanpa layana kesehatan dan pendidikan modern. Selain itu, di sini juga tidak perabotan rumah dan elektronik.
Warga Baduy Dalam malah terus mempertahankan pakaian putih-putih dengan ikat kepala atau lomar warna putih di Kampung Cibeo, Cikeusik, dan Cikawartana jika berpergian ke mana saja, termasuk keluar daerah.
Baca juga: Warga Baduy desak pemerintah realisasikan kolom agamanya
Mereka juga pantang menggunakan alas kaki saat bepergian, semuanya harus berjalan kaki. Warga Baduy Dalam dilarang menggunakan kendaraan.
Begitu juga pertanian, warga Baduy tidak menggunakan sawah dan peralatan bercocok tanam, melainkan dengan cara bercocok tanam di ladang, seperti menanam padi huma, palawija, dan lainnya.
Keunikan mereka mendorong pemerintah Banten melestarikan sastra dan budaya Baduy dengan merevitalisasinya agar budaya lokal tidak punah.
"Kami juga melakukan revitalisasi sastra dan seni angklung buhun Baduy dengan memberikan pelatihan kepada 100 pelajar SMA/SMK," kata Nondi.
Tahun ini Nondi dan timnya menggarap dokumentasi dan pengumpulan data kosa kata sunda Baduy dan istilah-istilah kerajaan agar menjadi arsip nasional demi keberlangsungan bahasa tersebut.
"Dokumentasi dan arsip itu agar tidak punah bagi generasi selanjutnya," katanya. "Apakah bahasa itu akan punah, namun jika ada dokumentasi maka tidak punah, termasuk penuturannya."
Pewarta: Mansyur
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2018