Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat Chusnul Mar`iyah mengingatkan adanya potensi timbulnya permasalahan terkait sejumlah pasal dalam undang-undang nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggara pemilihan umum. Dalam keterangannya kepada ANTARA News yang disampaikan di Jakarta, Sabtu, Chusnul menilai pasal 38 ayat (3) berpeluang menimbulkan adanya masalah. "Bayangkan nanti dalam pelaksanaan pemilu 2009, jika hasil pemilu dapat dianggap sah tanpa adanya tanda tangan pengesahan dari KPU Pusat, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/kota," paparnya. Ia mengandaikan dapat terjadi silang pendapat yang tajam bila masing-masing peserta pemilu memiliki data hasil pemilu sendiri-sendiri tanpa diharuskan adanya tanda tangan KPU sebagai pengesahan. "Saya melihat pasal dan ayat tersebut dapat menjadi sumber chaos dalam pemilu 2009. Kita perlu memiliki imaginasi yang cerdas dalam penyelenggaraan pemilu," tegasnya. Chusnul menambahkan hal tersebut juga termasuk dalam agenda pembicaraan saat anggota KPU yaitu Ramlan Surbakti, Valina Singka Subekti dan dirinya bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla pekan ini. "Hal lain yang juga dibicarakan adanya komisi independen yang jumlahnya sudah sangat banyak. Saya katakan reformasi ini membuka (kondisi-red) dari satu ekstrim ke ekstrim lainnya," kata Chusnul. Ia menambahkan tugas pemerintah saat ini adalah untuk memperbaiki kondisi tersebut dan membawanya kembali ke tengah. "Itu dapat dilakukan dengan memperkuat lembaga track pertama seperti KPU dan bukannya membuat lembaga-lembaga pada level track kedua," ungkap perempuan yang masih tercatat sebagai dosen Universitas Indonesia ini. Disampaikannya pada Wapres, KPU bukanlah lembaga yang tak bisa dikontrol. Pemerintah dapat mengontrolnya melalui anggaran namun bukan pada memesan agar KPU memenangkan partai pemerintah dalam pemilu. "KPU answerable kepada parlemen dan presiden. Sehingga kedua lembaga tersebut dapat mengontrol KPU walau dengan batasan yang ada di undang-undang," tegas Chusnul. Sementara terkait pembicaraan status Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin dan mantan Sekjen KPU Safder Yusacc yang kini masih menjalani masa hukuman, Chusnul mengatakan anggota KPU yang bertemu Wapres menanyakan janji presiden untuk menggunakan hak prerogratifnya dalam memberikan amnesti, abolisi dan rehabilitasi. "Pak Jusuf Kalla saat itu menanyakan bagaimana dengan prosedur grasi, saya menjelaskan Pak Nazaruddin yang didakwa kasus asuransi, sesuatu yang tidak dilakukannya, jelas tidak mau meminta grasi," katanya. Sedangkan terkait apakah akan mencalonkan diri lagi sebagai anggota KPU untuk periode mendatang, Chusnul mengatakan dirinya tidak trauma, namun memutuskan untuk tidak ikut serta lagi. "Saya sudah memutuskan sejak lama untuk tidak mau menjadi anggota KPU. Bagi saya waktu enam tahun lebih menjadi anggota KPU telah membantu meletakkan dasar dari demokrasi Indonesia terutama melalui pemilu 2004," tegasnya. Selain itu Chusnul juga mengatakan menginginkan generasi berikutnya menggantikannya sebagai anggota KPU. "Ada 110 jutaan perempuan Indonesia yang dapat menggantikan posisi saya, silahkan generasi berikutnya untuk berpartisipasi menjadi anggota KPU," demikian Chusnul Mar`iyah.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007