Oleh Edy Supriatna SjafeiJakarta (ANTARA News) - Ibu Wati (30) terlihat "ngedumel" sambil meninggalkan halaman sekolah Al-Falah. Namun, langkahnya terhenti di pintu gerbang karena rekannya, Fatimah (32), yang hendak menjemput puteranya, baru saja melintas masuk.Fatimah dari belakang setir mobilnya memanggil Wati. Setelah memarkir mobil di sisi kantor sekolah bersangkutan, Fatimah dan Wati pun terlibat pembicaraan hangat. Apalagi, Wati menuturkan bahwa baru saja berselisih paham dengan Direktur Sekolah Al-Falah, drg. Wismi, perihal ditegur lantaran memarahi anaknya yang berada dalam lingkungan kelompok bermain (play group).Belum sempat Fatimah menjelaskan, Wati tetap saja "nyerocos" melontarkan ketidaksepahamannya dengan kebijakan Ibu Wismi. "Masa' anak tak boleh dimarahi, diperintah dan dilarang?," katanya bernada tinggi.Fatimah maklum bahwa rekannya yang sama-sama satu kantor itu punya temperamen tinggi. Setelah seluruh kekesalannya dikemukakan, Fatimah menjelaskan secara rinci dengan pendekatan psikologi anak kepada Wati.Ia menuturkan, penanganan anak dalam masa usia emas (golden age) tak bisa dianggap enteng karena dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan otak dan fisik anak bersangkutan."Ikuti saja nasihat Ibu Wismi, karena dia lebih ahli di bidangnya. Suatu persoalan yang ditangani oleh ahlinya akan membuahkan hasil yang baik pula," kata Fatimah, yang lantas disambut anggukan rekan bicaranya itu.Kedua ibu itu kemudian menyongsong anaknya masing-masing dengan raut muka ceria. Wati mencium putranya dan langsung membawanya ke mobil yang baru saja tiba menjemputnya.Sekolah Al-Falah didirikan di lahan seluas 1,4 hektare di Jalan Kelapa Dua Wetan Nomor 4, Jakarta Timur. Sekolah tersebut beroperasi sejak 1996. Di situ ada pendidikan pra-Taman Kanak-Kanak (TK) atau Kelompok Bermain (play group), TK, Sekolah Dasar (SD). Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Khusus untuk usia dini, Al-Falah mencatat ada 86 anak yang ditangani 26 guru."Di sekolah ini kita berdoa, hidup, belajar, bekerja dan bermain bersama. Anak dikenalkan membuat rencana, melaksanakannya dan membuat dokumentasi dari apa yang mereka pelajari," kata Ibu Wismi, yang tiap hari selalu memantau perkembangan anak dari dekat.Setiap anak dikenalkan dengan metode belajar, membaca, pengalaman langsung, partisipasi aktif, mengamati, menulis dan menyelesaikan masalah, membandingkan, mendengar, mengevaluasi, dan berfikir secara kritis.Sayangnya, orang tua siswa kepeduliannya terhadap pendidikan usia dini masih terbilang rendah.Oleh karena itu, di sekolah tersebut, pengelola dan pendidik di Al-Falah mendapat tantangan menyangkut bagaimana menyiapkan anak usia dini mampu mengembangkan potensi dirinya, dan memberikan informasi secukupnya kepada orangtua mengenai betapa pentingnya anak bagi masa depan dan harus ditangani secara benar dan tepat.Untuk itu, Wismi mengimbau, agar di satu sisi masalah sosialisasi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) lebih digalakan lagi.Di sisi lain, ia mengemukakan, harus diakui bahwa komitmen pemerintah meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) PAUD cukup tinggi. Naiknya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2007 senilai Rp221 miliar menjadi dua kali lipat pada 2008 merupakan bukti nyata.Hal itu sejalan dengan kesadaran para orangtua yang beranggapan bahwa anak adalah masa depan dan harus diberi pendidikan. Belum lagi dukungan gerakan Program Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan Lembaga Swaday Masyarakat (LSM) turut mendorong tumbuhnya kesadaran para orangtua untuk ambil bagian dalam pendidikan usia dini.Pentingnya peran PAUD di berbagai daerah kabupaten/kota menambah pesatnya kemajuan pendidikan usia dini semacam itu.Data pada 2006 memperlihatkan, dari 28 juta anak usia 0 hingga 6 tahun ada sebanyak 73 persen (20,4 juta) anak belum memperoleh pendidikan. Sisanya, 27 persen (7,5 juta) sudah mendapat pendidikan usia dini, seperti membaca dan berhitung yang dilakukan lembaga non-formal, seperti kelompok bermain dan Tempat Penitipan Anak (TPA).Sampai 2007, sekira 46 persen dari 28 juta anak di Indonesia telah mendapat endidikan usia dini. "Ini merupakan suatu lompatan luar biasa," kata Direktur PAUD di Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Gutama, di Pontianak, baru-baru ini.Peningkatan angka partisipasi tersebut, dinilainya, juga tak lepas dari upaya Diknas mengembangkan kerja sama dengan berbagai organisasi perempuan, seperti PKK, Muslimat Nahdlatul Ulama (NU), Aisiyah Muhammadiyah dan Korps Wanita Indonesia (Kowani) untuk meningkatkan partisipasi orang tua, agar anaknya mengikuti pendidikan usia dini.Strategi Diknas menjalin kerja sama dengan organisasi perempuan agaknya sungguh tepat. Logikanya, anak memang lebih dekat dengan ibunya.Sungguh pun PAUD mengalami kemajuan signifikan, namun pada kenyataannya upaya tersebut masih harus dimaksimalkan lagi. Dikhawatirkan, jika penyadaran tentang pembentukan karakter dan kepribadian anak melalui pendidikan usia dini dilakukan hanya sebatas retorika, maka hasilnya sia-sia."Yang dibutuhkan adalah aksi dan sosialisasi nyata di lapangan," kata Ibu Nibras O.R. Salim (76 tahun), pemerhati PAUD yang hingga kini masih aktif membimbing para instruktur pendidikan anak usia dini di Masjid Istiqlal, Jakarta.Oleh karena itu pula, ia menilai, kepada orangtua dan guru perlu diberi pemahaman tentang potensi luar biasa yang dimiliki dari anak usia dini. Anak yang sedang berada pada masa keemasan (golden age) penting memperoleh pendidikan bagi pembentukan akhlak atau etika dan watak bagi dirinya guna memasuki jenjang pendidikan lebih lanjut.Hasil penelitian membuktikan bahwa anak pada usia itu punya intelegensia tinggi. Karena itu pendidikan usia dini tak boleh dipandang sebelah mata lagi, ujar Nibras, yang juga menjadi pimpinan TK Raudhatul Afhfal."Pendidikan anak sudah harus dilakukan ketika masih di dalam kandungan." Kalimat semacam itulah yang kerap dikemukakan para rohaniwan atau ustadz, manakala mereka memberi nasihat tatkala menampung keluhan para orang tua mengenai anaknya yang tengah bermasalah. Hambatan kemiskinanEsensi PAUD hakikinya untuk membentuk anak Indonesia berkualitas, anak dapat berkembang sesuai kemampuannya sehingga punya kesiapan yang optimal dalam memasuki pendidikan dasar dan mengarungi kehidupan masa dewasa.Namun, tidak semua orang tua punya kesempatan untuk menyertakan anaknya ikut pendidikan di usia dini pada lembaga formal dan non-formal karena beberapa faktor. Penyebabnya, selain faktor ekonomi, juga kurangnya informasi dan rendahnya pemahaman betapa pentingnya pendidikan usia dini.Naiknya harga minyak goreng yang membuat orang tua pusing menutupi biaya kehidupan sehari-hari, naiknya ongkos transportasi, mahalnya harga obat dan biaya berobat di rumah sakit ikut berpengaruh terhadap peningkatan gizi anak. Dampaknya, karena gizi rendah tingkat kecerdasan anak menjadi terganggu.Dalam kaitan pembentukan karakter dan kepribadian anak, juga ada komponen lain yang besar kontribusinya bagi penentuan kemajuan pedidikan anak usia dini. Yaitu. lingkungan atau masyarakat dan keluarga tempat anak berdomisili.Sudah jadi aksioma bahwa anak --terlebih lagi anak-anak di usia dini-- lebih mudah diberi contoh daripada dinasihati. Oleh karena itu, pendidikan di usia dini belum dapat mandiri. Pasalnya, pendidikan semacam itu melibatkan keluarga dan masyarakat sekitar. Untuk itu pula, para orangtua dituntut mengembangkan potensi diri, dengan menambah pengetahuan, sehingga bisa jadi pusat informasi bagi anaknya.Anak di masa keemasan itu tak dapat lagi dipandang ringan. Menurut Nibras, anak harus mendapat pendidikan ahlak mulia sehingga tak menyulitkan para orang tua di masa depannya.Dengan cara itu akan terjadi interaksi positif antara anak dan orangtua. Jika orangtua cukup wawasan, menurut dia, maka bukan hanya jadi pusat informasi tetapi juga mampu merespon dengan cepat dan langsung akan kebutuhan anak. Orangtua harus memberi kesempatan kepada anak untuk berkomunikasi, memfasilitasi anak dalam menyelesaikan tugas dengan dukungan, perhatian, kedekatan fisik dan dorongan.Belumlah cukup sampai di situ. Para orangtua harus memperhatikan perkembangan fisik anak, misalnya stres tatkala menghadapi persoalan di luar batas kemampuannya. Di situlah peran orang tua ikut menentukan, karena harus tahu cara membantu anak menghadapinya.Untuk itu pulalah, maka suasana pendidikan bagi anak usia dini sebaiknya diciptakan dan dilakukan dalam suasana rileks. "Menciptakan suasana belajar seperti di rumah sendiri sangat penting bagi anak usia dini," kata Nibras.Dalam usianya yang tua dan banyak diabdikan kepada anak usia dini, sang nenek yang masih terlihat bersemangat itu berkeyakinan bahwa jika pemahaman orangtua dan guru terhadap PAUD cukup baik, maka akan membawa pengaruh besar terhadap pembentukan karakter bangsa di masa datang.Investasi untuk PAUD memang besar. Namun, masih dapat diminimalisir, seperti memanfaatkan halaman masjid, gereja atau rumah ibadah lainnya.Dengan cara seperti itu, anak usia dini berarti sejak awal sudah diperkenalkan etika atau sopan santun melalui lingkungan yang baik.Dorongan Diknas, agar rumah ibadah dapat digunakan untuk kegiatan PAUD perlu disosialisasikan ke semua pihak. Dengan cara itu, maka akan dapat terbangun persepsi yang sama betapa strategisnya anak bagi masa depan bangsa."Hal ini sudah sering saya ingatkan kepada instruktur yang berlatih di Istiqlal. Mereka berasal dari berbagai golongan agama, dan menyadari anak menjadi penting bagi orangtua dan bangsa," demikian Nibras Salim. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007