Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai terlalu memihak PT Lapindo Brantas dengan tetap bersikukuh menggunakan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoharjo dalam menyelesaikan proses ganti rugi kepada warga korban luapan lumpur.
"Kebijakan Presiden untuk hanya mempertahankan konsep jual beli dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2007 merupakan gambaran bahwa Presiden telah terjebak dalam permainan Lapindo Brantas," kata Direktur Bantuan Hukum dan Advokasi YLBHI, Taufik Basari yang juga penggugat dalam perkara luapan lumpur Lapindo di Jakarta, Jumat.
Basari mengatakan hal itu terkait dengan hasil kunjungan Presiden SBY ke Sidoarjo selama tiga hari, sejak 25 Juni 2007 hingga 27 Juni 2007.
Hasil kunjungan itu adalah penegasan Presiden bahwa Lapindo harus menyelesaikan pembayaan 20 persen dari jual beli kepada korban dalam jangka waktu sepuluh minggu.
Pasal 15 Perpres Nomor 14 Tahun 2007 menyatakan PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bengunan masyarakat korban luapan lumpur melalui pembayaran secara bertahap.
Pembayaran bertahap yang dimaksud yaitu 20 persen dibayarkan di muka, sedangkan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah dua tahun habis.
Menurut Basari, konsep jual beli seharusnya dilandasi semangat kesetaraan antara Lapindo dengan warga.
Proses jual beli seharusnya harus dihasilkan dari kesepakatan para pihak, termasuk warga, dengan kehendak bebas dalam menentukan harga.
"Tetapi yang terjadi adalah para korban sebagai penjual dipaksa menjual tanah dan bangunannya tanpa memiliki
bargaining power (posisi tawar-red) dengan Lapindo," katanya.
Lebih lanjut Basari mengatakan proses jual beli ini tidak bisa disamakan dengan ganti rugi. Ganti rugi harus dimaknai sebagai pemulihan hak korban yang telah tercerabut.
Hak yang dimaksud meliputi hak milik, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak kesehatan, hak anak, hak lingkungan hidup, dan lainnya.
Seharusnya, menurut Basari, pembayaran jual beli dan ganti rugi bisa ditalangi terlebih dahulu oleh negara dengan memastikan Lapindo akan menggantinya di kemudian hari.
Hal itu diperlukan agar masyarakat yang selama ini menjadi pihak yang dikorbankan bisa segera merasakan pemulihan hak-hak mereka.
Selain itu, pemerintah harus secara tegas menyatakan seluruh biaya untuk menangani luapan lumpur dan pemulihan hak warga menjadi tanggung jawab Lapindo.
Kemudian, pemerintah harus memiliki keberanian untuk membuka seluruh dokuman yang terkait dengan penyebab sebenarnya luapan lumpur.
Seperti diberitakan, telah dibentuk tim invesigasi di bawah koordinasi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menyelidiki penyebab luapan lumpur.
Meski telah menjalankan tugas, kata Basari, tim tersebut belum membeberkan hasil penyelidikan kepada publik.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007