“Ketersediaan bahan baku dapat menjaga kontinuitas produksi industri guna memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor,” kata Airlangga melalui keterangan pers di Jakarta, Sabtu.
Airlangga meyakini, apabila kemudahan impor bahan baku diberikan, terutama yang tidak bisa diperoleh di dalam negeri, ekspansi dan investasi di sektor industri akan meningkat.
Lebih lanjut, dengan industri terjamin produktivitasnya, efek berantai yang dibawa akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Misalnya, peningkatan terhadap nilai tambah, tenaga kerja, dan ekspor.
“Industri juga menjadi kontributor terbesar melalui pajak dan cukai,” ujar Airlangga.
Mengenai pertumbuhan produksi industri, Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis datanya, untuk skala manufaktur besar dan sedang mengalami kenaikan sebesar 4,74 persen tahun 2017 dibanding 2016.
Lonjakan ini terutama disebabkan meningkatnya produksi industri makanan sebesar 9,93 persen.
Sedangkan, pertumbuhan produksi industri manufaktur skala mikro dan kecil pada tahun 2017, juga ikut menanjak sebesar 4,74 persen terhadap tahun 2016. Kenaikan ini terutama disebabkan meningkatnya produksi komputer, barang elektronik dan optik sebesar 35,25 persen.
Airlangga menambahkan, sejumlah perusahaan-perusahaan yang ingin ekspansi tersebut, memiliki daya saing yang cukup kompetitif di kancah global.
Misalnya, Cabot Corporation, industri yang memproduksi bahan baku untuk industri ban, yaitu carbon black.
“Kemarin saya sudah ketemu Cabot, dan mereka di Indonesia sudah 30 tahun. Industrinya ini untuk pendalaman struktur dari sektor otomotif. Jadi, kita punya potensi yang luar biasa,” ungkapnya.
Produksi carbon black perusahaan ini disebut sebagai nomor satu di dunia.
Selanjutnya, Cargill merupakan perusahaan di bidang pangan yang membutuhkan jagung sebagai bahan baku.
“Cargill yang membuat sweetener dari tapioka. Tentu bisa dikembangkan lagi sweetener dari jagung. Apalagi basisnya mereka ekspor,” tutur Menperin.
Selain memacu industri nasional semakin produktif, Kementerian Perindustrian juga meminta supaya mereka bisa lebih inovatif.
Terlebih lagi dalam menghadapi era ekonomi digital dan penerapan teknologi revolusi industri keempat atau Industry 4.0 yang telah berjalan saat ini.
Untuk itu, Kemenperin mengajukan usulan kepada Kementerian Keuangan mengenai skema pemberian tax allowance sebesar 300 persen kepada perusahaan yang membangun fasilitas penelitian dan pengembangan di Tanah Air. Kebijakan ini sudah diterapkan di beberapa negara seperti Thailand.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin, Ngakan Timur Antara mensimulasikan rencana pemberian insentif pajak tersebut. Misalnya sebuah perusahaan membangun pusat inovasi di Indonesia dengan nilai investasi Rp1 miliar, maka pemerintah akan memberikan pengurangan terhadap penghasilan kena pajak sebesar Rp3 miliar kepada perusahaan tersebut.
“Jadi bentuk pengurangannya, dari biaya litbangnya dikalikan tiga,” jelasnya.
Di samping itu, Ngakan menyatakan, Kemenperin juga mengusulkan adanya insentif pajak berupa tax allowance bagi industri yang ikut mengembangkan pendidikan vokasi sebesar 200 persen.
“Contohnya, sebuah perusahaan bekerja sama dengan SMK untuk memberikan pelatihan dan pembinaan, penyediaan alat industri hingga kegiatan pemagangan dengan menghabiskan biaya Rp1 miliar, maka pemerintah akan memberikan pengurangan terhadap penghasilan kena pajak sebesar Rp2 miliar kepada perusahaan tersebut,” paparnya.
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018