Jakarta (ANTARA News) - Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Holding BUMN Migas tinggal menunggu tanda tangan Presiden Joko Widodo, kata Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media, Harry Fajar Sampurno.
"Sudah diparaf (RPP) semua menteri terkait dan sudah diajukan ke Presiden lewat Sekretariat Negara. Setelah ditandatangani Presiden, maka terbitlah PP Holding BUMN Migas," kata Harry ketika dihubungi media di Jakarta, Kamis.
Harry menjelaskan, setelah PP resmi terbit maka aspek legal pembentukan holding hanya tinggal dilanjutkan dengan penandatanganan akta inbreng mengalihkan saham pemerintah di PT Perusahaan Gas Negara (PGN) ke Pertamina, dimana PGN akan menjadi anak usaha Pertamina beserta anak usaha lainnya.
"Tapi dari aspek korporasi setelah PP nanti harus dibuat Keputusan Menkeu mengenai nilai pengalihan," ujar Harry.
Sebelumnya, lembaga riset Wood Mackenzie menyebutkan, ada sejumlah keuntungan yang akan didapat oleh Pertamina bila proses pembentukan holding migas terealisasi, di antaranya, Pertamina bisa memanfaatkan basis pelanggan PGN untuk memperluas jangkauan pemasaran perusahaan.
Sekaligus diharapkan bisa menghindarkan Pertamina dari risiko kelebihan kontrak gas alam cair atau Liquid Nature Gas (LNG).
Diketahui, Pertamina sejak 2014 lalu telah menandatangani kontrak impor gas alam cair (Liquid Natural Gas/LNG) sebesar 1,5 juta ton per tahun dari Cheniere Corpus Christi, perusahaan asal Amerika Serikat.
Kontrak pembelian LNG ini dibuat karena diperkirakan Indonesia butuh gas impor mulai 2019.
Dalam neraca gas bumi yang disusun Kementerian ESDM disebutkan, Indonesia butuh impor gas sebanyak 1.777 billion british thermal units per day (bbtud) pada 2019, 2.263 bbtud pada 2020, 2.226 bbtud di 2021, 1.902 bbtud tahun 2022, 1.920 bbtud di 2023, 2.374 bbtud pada tahun 2024, dan 2.304 bbtud di 2025.
Namun, infrastruktur penerima gas yang dimiliki Pertamina saat ini masih belum cukup untuk menampung dan mendistribusikan gas tersebut.
Bila tidak segera diantisipasi, Pertamina terancam mengalami kerugian dikarenakan tidak memiliki infrastruktur gas yang memadai, padahal gas yang sudah terkontrak tetap harus diserap mulai 2019.
"Penggabungan usaha ini akan memberikan akses (Pertamina) terhadap pelanggan industri utama PGN yang bisa meringankan risiko kelebihan pasokan," tulis riset tersebut.
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018