"Kami meminta kepada Mentri Dalam Negeri tidak melanjutkan rencana menunjuk polisi sebagai penjabat gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara," kata Peneliti dari Perludem Fadli Ramadhanil dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
Ia menjelaskan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada) Pasal 201 Ayat (10), telah diatur bahwa pengisian kekosongan jabatan gubernur adalah dengan mengangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur baru.
Ketentuan ini, kata dia, juga secara jelas menyebutkan sekretaris jendral kementerian, sekretaris utama, sekretaris jendral kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jendral lembaga non-struktural, direktur jendral, deputi, inspektur jendral, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, kepala sekretariat presiden, kepala sekretariat wakil presiden, sekretaris militer presiden, kepala sekretariat dewan pertimbangan presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara.
Menurut Fadli, dengan adanya ketentuan tersebut sesungguhnya sudah jelas, jika Mendagri menunjuk selain jabatan yang ada di atas, artinya tidak berkesesuain dan berpotensi melanggar UU Pilkada.
Ia menambahkan Pasal 28 Ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian juga secara tegas mengatur tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Oleh sebab itu, langkah penunjukan anggota polisi aktif jadi penjabat gubernur juga berpotensi melanggar UU Kepolisian, ungkap Fadli.
"Jika usulan ini tetap dilanjutkan, kami meminta kepada Presiden untuk tidak menyetujui usulan ini," kata Fadli.
Pewarta: Agita Tarigan
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018