Pada era modern, binatang ini juga kerap jadi sumber inspirasi dalam seni hiburan. Yang paling mudah dilihat ada di dalam kultur budaya pop, yaitu terciptanya karakter kartun kucing lucu seperti "Doraemon", "Garfield", hingga jagoan di film "Catwoman" yang seksi namun berbahaya.
Tapi Violetta bukanlah tokoh yang hidup di dalam dongeng. Dilihat sekilas, ia hanya seorang wanita biasa yang sukses dengan karirnya sebagai psikolog klinis anak. Namun, ketika di rumah, ia berubah 180 derajat menjadi sosok ibu pelindung kucing terlantar. Ia berbagi ruang dengan membuat sebuah "surga" yang tersembunyi untuk 149 kucing yang diselamatkannya.
"Ketika kucing sudah masuk ke kehidupan kita, mereka jadi bagian hidup kita, mereka adalah keluarga," kata perempuan yang bernama lengkap Violetta Hasan Noor, kepada Antara di Pekanbaru pada akhir Januari 2018.
Wartawan Antara diperkenankan untuk melihat langsung kehidupan Violetta yang unik ini dengan satu syarat: "Tolong jangan sebutkan alamat rumah saya. Nanti jadi makin banyak orang buang kucing ke sini," katanya.
Rumah sederhana dengan tembok warna putih itu tampak sepi kalau dilihat dari bagian depan. Namun pemandangan sangat kontras terdapat di halaman belakangnya, sejauh mata memandang akan terlihat kucing di mana-mana. Hewan berbulu itu ada yang bebas berkeliaran dan terlihat bermain kejar-kejaran. Ada yang sedang berjemur di atas atap seng, ada yang mencakar-cakar tembok untuk mengasah kukunya, dan ada yang tidur di taman yang asri.
Rumah itu menjadi tempat perlindungan kucing terlantar yang diberi nama "Violetta`s Rescue" atau disingkat VR.
"Violetta`s Rescue bukan LSM, bukan komunitas, tapi lebih ke gerakan saya secara individu yang saya bisa lakukan untuk kucing," ujar perempuan berambut panjang ini.
Pada halaman belakang seluas 17 x 20 meter itu, terdapat tiga buah bangunan dengan konsep terbuka. Di sebelah kanan dari pintu gerbang halaman belakang, terdapat rumah berukuran 7 x 3 meter untuk kucing senior. Di dalamnya terdapat puluhan kucing tua yang dinilai fisiknya sudah rentan untuk dilepas ke luar ruangan. Bangunan itu terasa lapang karena memiliki dinding kaca yang besar dan langit-langit yang tinggi.
Ada dua pintu kecil yang hanya bisa digunakan untuk masuk kucing-kucing senior. Mereka biasanya beristirahat pada malam hari di kandang yang ada di lantai, maupun di papan-papan dan rumah-rumah kucing berukuran kecil yang dipaku ke dinding.
Selain itu, ada juga bangunan lainnya yang baru setengah jadi dengan dinding plaster dan berisi kandang-kandang untuk kucing yang belum disterilkan. Tepat di sebelahnya ada konstruksi bangunan yang belum jadi. "Tempat ini saya bangun secara bertahap. Kalau sudah ada dana nanti akan diteruskan," katanya.
Antara rumah utama yang dihuni oleh Violetta bersama suaminya, dengan penampungan kucing VR sebenarnya dipisahkan oleh sebuah pintu kecil. Namun, Violetta juga membebaskan kucing-kucing masuk ke dalam rumah utama untuk bermain. Bahkan, salah satu toilet di rumah utama juga digunakan untuk kamar kucing yang butuh perawatan khusus.
"Sekarang ini ada bayi kucing yang baru saya selamatkan, kondisi fisiknya sangat rentan jadi saya bawa sampai ke kamar. Supaya lebih mudah saya mengawasinya juga," ucapnya.
Semua kucing yang berada di VR diberi nama oleh Violetta. Ia ingat satu per satu nama, karakteristik hingga cerita bagaimana proses menyelamatkan mereka. Mulai dari kucing paling tua bernama Raja yang berusia 15 tahun, lalu ada Red yang diberi nama karena saat ditemukan badannya penuh luka melepuh akibat siraman air panas. Kemudian ada Summer yang pencemburu, hingga Pete yang dibaca Pit, seekor kucing paling muda berumur 2,5 bulan yang ditemukan dengan luka pada matanya.
Bagi Violetta, kucing adalah media terapi karena bisa menghilangkan emosi dan penat akibat aktivitas kerjanya setiap hari. Sebuah kesenangan tersendiri buatnya, terutama apabila melihat kucing yang saat diselamatkan dalam keadaan sakit dan seakan tak ada harapan lagi, lalu kini dalam kondisi sehat dan gemuk.
"Saya merasa mereka juga menyelamatkan saya. Itulah istimewanya kucing buat saya," kata Violetta sambil tersenyum.
Violetta dibantu oleh saudaranya yang bernama Irsadel untuk mengurus kucing-kucing setiap hari. Pria yang akrab disapa Bang Del itu mengaku salut dengan dedikasi Violetta untuk menyelamatkan kucing terlantar. "Walau pun saya setiap hari bersama kucing, susah juga untuk menghafal nama-nama mereka. Tapi Violetta hafal semua, dan instingnya kuat jadi bisa tahu apabila ada kucing yang sakit," kata Bang Del yang sudah sekitar 10 tahun mengabdi di VR.
Komitmen Seumur Hidup
Violetta lahir dari kelurga penyuka kucing, namun ia sendiri mengaku tidak pernah bercita-cita menjadi penyelamat kucing terlantar seperti sekarang. Kebiasaan uniknya ini berawal sejak 2005 setelah lulus dari pendidikan S2, punya penghasilan sendiri, dan tinggal indekos di daerah Gobah, Pekanbaru.
Hatinya cepat tersentuh ketika melihat kucing terlantar di jalanan yang butuh pertolongan. Pernah suatu hari ia nekat menyelamatkan kucing yang lehernya tersangkut di pembatas jalan layang Jl. Jenderal Sudirman, Pekanbaru. Aksi penyelamatan ini sempat membuat heboh polisi, yang awalnya segan, namun akhirnya mau menolong kucing itu juga.
"Setelah enam bulan berjalan saya kewalahan dan kaget ternyata di kost sudah ada sekitar 20 ekor kucing yang sudah diselamatkan, sedangkan gaji saya tidak cukup untuk membiayai makan mereka," kata Violetta Hasan Noor.
Wanita yang kesehariannya terlihat energik ini kemudian membuka toko kecil untuk menjual makanan kucing. Tujuan utamanya agar ada tempat bernaung untuk kucing-kucingnya, dan semua keuntungan toko untuk membiayai kebutuhan kucing itu juga. Namun, karena makin banyak bisnis sejenis muncul di Pekanbaru, usaha kecil Violetta itu kalah saing dan bangkrut pada 2011.
"Akhirnya saya mulai buka donasi dan pernah dapat dari Amerika Serikat selama empat tahun berturut-turut pada tahun 2013 sampai 2016, sebulan Rp12 juta. Bantuan itu dari lembaga asosiasi pencinta kucing," katanya.
Dari donasi luar negeri itu aktivitas VR berkembang seiring dengan makin banyak kucing terlantar yang bisa diselamatkan. Setelah bantuan itu berjalan empat tahun, akhirnya lembaga tersebut meminta VR untuk mencari dana sendiri di dalam negeri. Penggalangan donasi kini gencar di media sosial Instagram (IG) di akun "Violetta`s Rescue", dan semua dilakukan secara transparan.
"Karena Violetta`s Rescue sudah menerima donasi dari luar, maka itu kita buat secara profesional. Keuangannya kita buat transparan, selalu update di IG jadi setiap donatur bisa melihat aliran dana kita berapa, dapat berapa yang masuk, yang keluar, dan apa saja yang sudah digunakanannya," kata wanita berusia 41 tahun ini.
VR membantu semua kucing terlantar yang butuh pertolongan dengan prioritasnya seperti kucing yang cacat, sakit, maupun kucing yang masih bayi. Sebelum ke penampungan VR, kucing yang diselamatkan dibawa ke klinik dokter hewan untuk divaksin, serta diberi obat cacing dan obat kutu. Kebersihan setiap kandang, rumah kucing dan tempat makan sangat diperhatikan, dengan membersihkannya menggunakan obat khusus, sehingga terjamin kesehatan kucing dan lingkungan disekitarnya.
Setiap kucing VR yang dibiarkan berkeliaran memiliki tanda khusus berupa kalung dengan bandul lonceng dan plat warna merah. Di plat itu tertulis nama Violetta`s Rescue dan nomor telepon. VR mendapat donasi 200 kalung penanda itu dari Amerika Serikat.
"Tujuannya agar masyarakat tahu itu kucing Violetta`s Rescue, artinya kucing dalam kondisi kesehatan yang bisa dijamin," katanya.
Violetta juga sangat memperhatikan agar kucing-kucing tersebut tidak kelaparan. Tempat itu selalu menyediakan makanan kucing kering selama 24 jam, dan ikan tongkol rebus dua kali sehari pada pagi dan malam. Tujuannya agar kucing-kucing VR yang berkeliaran tidak mengganggu kenyamanan warga sekitar.
"Saya tinggal di lingkungan banyak masyarakat. Saya tak mau ini jadi bola salju dan masalah karena jumlah kucing makin banyak. Jadi saya siapkan makanan 24 jam supaya semua kucing yang tidak di kandang tetap tenang dan tidak curi makanan. Ketika mereka main ke rumah orang tidak meresahkan, dan mereka sudah tahu kapan waktu makan sehingga ketika lapar mereka pulang lagi," ujarnya.
Karena itu, biaya paling besar dalam operasional VR adalah untuk makanan untuk 149 kucing yang ada sekarang. Dalam sepekan butuh enam sak makanan kucing kering yang harganya Rp400 ribu per sak, dan ikan tongkol rebus sebanyak 70 kilogram. Total butuh biaya sekitar Rp3,5 juta per pekan, atau Rp14 juta per bulan untuk makan kucing saja, dan itu di luar biaya klinik kesehatan hewan.
"Operasional VR 100 persen bergantung dari donasi seperti untuk makanan dan klinik dokter hewan. Tapi kalau operasional untuk gaji Bang Del yang mengurus kucing, untuk beli sabun, bayar listrik, dan camilan makanan kalengan, itu dari aku," katanya.
Banyak juga duka yang harus dihadapi oleh Violetta dalam menjalankan misi penyelamatan kucing terlantar. Selain harus menerima konsekuensi kelelahan fisik, kesulitan paling besar bagi Violetta adalah ketika kucing yang diselamatkan mati. Selain itu, kesulitan dana juga bisa membuat frustasi.
Pernah pada suatu waktu, VR terlilit masalah hutang di klinik hewan sebanyak Rp18 juta sehingga tidak bisa lagi membawa kucing untuk mendapat perawatan. Violetta sempat mengunggah kegundahannya itu ke akun media sosial VR, dan untungnya langsung direspon oleh seorang donatur.
"Langsung ada orang yang menghubungi saya dan nanya berapa banyak hutangnya. Tidak lama dia langsung transfer untuk membayar semua hutang itu. Alhamdulillah saya sangat bersyukur sekali," kata Violetta yang mengaku sampai kini tidak tahu siapa nama donatur misterius.
Menurut dia, donatur dari Indonesia kini sudah sangat membantu kegiatan VR sehingga biaya operasional bulanan bisa dipenuhi. Ia juga bersyukur atas dukungan keluarga dan suaminya terhadap pilihan hidup yang sudah dijalaninya selama 13 tahun terakhir itu.
"Orang tua dan suami tidak permasalahkan, namun mereka menekankan kalau saya berkecimpung di dunia ini, maka saya harus bertanggung jawab menerima semua konsekuensi karena pastinya akan capek secara fisik, secara emosional waktu menghadapi kucing sakit dan kehilangan mereka. Artinya saya harus komitmen seumur hidup dalam memelihara mereka," katanya.
Dokter Hewan Ilham Deskarifal Fitrah dari Klinik Lara Satwa Pekanbaru setiap tiga bulan sekali rutin mengunjungi VR untuk memeriksa kesehatan kucing-kucing tersebut. Ia juga menjamin bahwa setiap kucing yang bergabung di tempat itu sudah dicek kesehatannya terlebih dahulu.
"Saya rutin berikan obat cacing dan obat tetes kutu karena sangat penting untuk mencegah infeksi cacing dan penyebaran kutu," katanya.
Pihak pengelola juga memberikan keringanan biaya sebagai apresiasi terhadap aktivitas VR. "Sebagai amal, ada tenggang waktu pembayaran dan diskon," ujarnya.
Fungsi Edukasi
Selain untuk menyelamatkan kucing liar yang terlantar, VR juga menjalankan misi edukasi kepada masyarakat bagaimana memperlakukan hewan. Karena itu, VR sangat selektif dalam proses adopsi kucing.
Animo orang untuk mengadopsi kucing VR tinggi, namun bukan berarti bisa dikabulkan semua. Setiap orang yang tertarik untuk mengadopsi harus lulus serangkaian pemeriksaan, yakni mulai dari seleksi administrasi, wawancara, hingga lulus survei kelayakan tempat tinggal. Ini sengaja dilakukan Violetta karena dahulu pernah ada kasus adopsi yang gagal, dan justru menyiksa kucing.
"Sampai sekarang baru ada empat orang yang lulus seleksi. Karena itu sangat penting bagi kita untuk lelaskan tentang tangung jawab apa mereka mampu merawat si kucing itu sampai akhir hayatnya. Jangan sampai hanya ketika cantik dipelihara, tapi ketika sudah jelek, sakit dan butuh pertolongan, justru dibuang," kata Violetta menanggapi kebiasan orang yang menelantarkan kucing.
VR juga aktif menggunakan media sosial untuk fungsi edukasi tentang kucing. Dalam unggahan di media sosialnya bisa dilihat ada kegiatannya bersama kucing yang lucu-lucu, cara merawatnya, larangan membuang kucing, sampai ada juga tentang proses sterilisasi kucing atau kebiri.
Hingga kini terkait sterilisasi kucing masih menimbulkan pro dan kontra karena sebagian orang menganggap itu kejam dan menimbulkan cacat permanen. Bagi Violetta, sterilisasi kucing merupakan salah satu upaya mengurangi populasi kucing liar di jalanan. Sterilisasi kucing sebagai hewan peliharaan lebih baik, ketimbang membiarkan kucing beranak dan dibuang karena pemiliknya tidak sanggup merawatnya.
Dari banyak kasus yang terjadi, lanjutnya, kebanyakan kucing yang diselamatkan adalah korban tabrak lari dan korban penganiayaan oleh manusia. Jadi, semakin banyak populasi kucing terlantar, maka makin rentan timbul masalah di tengah masyarakat yang sebenarnya akibat ulah manusia juga
"Masih ada yang tak faham bahwa membuang kucing itu sama saja membunuh secara pelan. Makanya edukasi tentang sterilisasi kucing itu penting," ujarnya.
Lewat pilihan hidupnya sebagai penyelamat kucing, Violetta berharap akan lebih banyak orang perduli akan kucing dan hewan-hewan yang lain di tengah makin maraknya kasus penganiayaan kepada satwa. Peran orang tua sangat penting untuk mengedukasi anak sedari dini untuk menghormati hewan sebagai makhluk hidup ciptaan Tuhan.
"Jadi kalau tak suka hewan ya tidak masalah, tapi jangan sakiti mereka. Mudah-mudahan Indonesia jadi negara yang lebih empati dan peduli dengan hewan," harap Violetta.
Video:
Pewarta: Febrianto Budi Anggoro
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018