Bandarlampung (ANTARA News) - Keberadaan tiga unit Pengolahan Gabah dan Beras (UPGB) Perum Bulog di Provinsi Lampung disarankan untuk direlokasi karena tempatnya berada di daerah permukiman, serta jauh dari sentra produksi.
"Kondisi yang ideal untuk pembangunan UPBG seharusnya di lokasi di sekitar sentra produksi dan jauh dari permukiman," kata Kepala Bulog Divisi Regional Lampung, Indra Suyanto, dalam rapat kerja dengan Panja Bulog dan Pangan Komisi IV DPR, di Bandarlampung, Kamis.
UPGB Tanggamus berada di lingkungan permukiman penduduk. Keberadaan UPGB itu diprotes warga setempat karena tercemar dari debu UPGB tersebut. Sementara dua unit UPGB Soekarno-Hatta berada di dalam Kota Bandarlampung, dan jauh dari sentra produksi.
"Untuk itu, UPGB sebanyak tiga unit itu perlu direlokasi ke daerah sentra produksi, seperti Lampung Selatan dan Lampung Tengah, serta harus jauh dari permukiman," katanya.
Bulog memiliki empat UPBG di Lampung, yakni UPGB Soekarno-Hatta (2 unit), UPGB Tanggamus, dan UPGB Menggala. Laba bruto keempat UPGB itu satu tahun hanya Rp82 juta, sementara modalnya Rp1,5 miliar.
Kinerja UPGB itu semakin merosot dengan adanya penurunan pengadaan gabah perum Bulog, naiknya harga BBM dan biaya transportasi gabah. Harga gabah yang jauh di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) mengakibatkan merosotnya pasokan gabah ke UPGB Bulog.
Biaya produksi UPGB itu juga sangat mahal karena masing- masing mengoperasikan genset yang besar (350 KVA atau 280 Kw), sementara keempat UPGB itu hanya membutuhkan 164,4 Kw.
Menurutnya, agar msin UPGB itu lebih efisien dalam operasionalnya, harus dilakukan modifikasi kekuatannya sesuai dengan kebutuhan, atau melakukan "split power" untuk masing-masing "drying" dan "milling process".
UPGB itu juga belum dilengkapi dengan sarana pendukung, seperti rumah sekam, lantai jemur, jalan akses, dan kantor.
Menurut anggota Panja Bulog dan Pangan Komisi IV DPR, I Made Urip, keberadaan UPGB yang tidak efektif memang perlu dievaluasi, seperti direlokasi.
"Kalau jauh dari sentra produksi, ya harus segera dicari jalan keluarnya," katanya.
Namun, mereka menolak jika mesin pembangkit listrik (genset) diganti dengan mesin yang berkekuatan lebih rendah, karena prosesnya lama dan sulit.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007