Bogor (ANTARA News) - Masyarakat Indonesia sudah saatnya kembali meningkatkan penggunaan minyak kelapa dan tidak lagi bergantung pada minyak kelapa sawit, sehingga fluktuasi harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar internasional tidak banyak mempengaruhi pasar domestik.
Anjuran itu disampaikan oleh staf pengajar Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta), Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Tien Muhtadi, Kamis, terkait kemungkinan terus menguatnya harga minyak sawit mentah (crude palm oil) di pasar dunia karena meningkatnya penggunaan biofuel sebagai bahan bakar alternatif.
Permintaan akan komoditas itu dari India dan China juga meningkat, katanya.
Menurut Tien Muhtadi, melonjaknya harga minyak goreng seperti yang terjadi saat ini tidak perlu menimbulkan keresahan jika masyarakat mempunyai alternatif produk minyak goreng yakni minyak kelapa.
Ia menjelaskan, di antara produk-produk alternatif minyak goreng adalah minyak goreng padat dari "stearin", minyak karotina yang banyak mengandung karoten untuk minyak tumis, minyak kelapa dan minyak kelapa fermentasi.
"Minyak kelapa merupakan produk yang sudah dikenal luas sejak lama, dan bisa diproduksi sendiri dalam skala rumah tangga," kata Tien Muhtadi, yang juga Deputi Menteri Riset dan Teknologi.
Bahkan, IPB juga telah memperkenalkan pembuatan minyak kelapa fermentasi dengan memanfaatkan enzim yang dihasilkan oleh kepiting sawah dan diproses tanpa pemasakan.
Di beberapa negara, selain kelapa sawit, produk alternatif minyak goreng berupa minyak biji matahari, minyak jagung dan minyak kedelai.
Namun produksi jagung dan kedelai Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan pangan.
"Kita mempunyai produksi kelapa yang melimpah, jadi kenapa itu tidak kita manfaatkan," katanya.
Ia mengatakan, diversifikasi produk minyak goreng merupakan salah satu solusi alternatif yang direkomendasikan IPB untuk mengantisipasi kenaikan harga minyak goreng.
Kenaikan harga minyak goreng domestik ini disebabkan oleh meningkatnya harga CPO di pasar internasional dari 622 dolar AS per ton menjadi sekitar 787 dollar AS per ton, sehingga produsen cenderung melempar produknya ke pasar ekspor.
Menurut Direktur Akademik Magister Manajemen Agribisnis (MMA) IPB, Dr Ir Herman Siregar, harga CPO diperkirakan akan terus meningkat karena beberapa faktor yaitu meningkatnya harga bahan bakar minyak (BBM) yang kemudian mendorong pencarian bahan bakar alternatif termasuk biofuel berbahan baku CPO.
Selain itu, permintaan dari dua konsumen terbesar, India dan China juga akan terus meningkat dengan pertumbuhan ekonomi saat ini yang mencapai 8-10 persen.
Seperti halnya komoditas pertanian lain, harga CPO akan selalu berfluktuasi karena pengaruh iklim.
"Untuk kelapa sawit, lonjakan harga CPO seperti yang terjadi saat ini bisa dikatakan mempunyai siklus 7-8 tahunan," katanya.
Pada tahun 1998, siklus pertama lonjakan harga CPO di pasar internasional terjadi akibat fenomena El Nino yang mengakibatkan kekeringan panjang di Indonesia.
"Sekarang ini sebenarnya juga sudah mulai terlihat terjadinya perubahan iklim yang tidak biasa. Hujan yang biasanya tidak turun pada bulan-bulan sekarang, masih terjadi di beberapa wilayah termasuk Bogor," katanya.
Hal-hal seperti ini, seharusnya sudah bisa diantisipasi oleh pemerintah sejak dini, dengan membuat program jangka menengah dan jangka panjang termasuk diversifikasi produk minyak goreng dan perluasan areal perkebunan kelapa sawit, demikian Herman Siregar.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007