Pekanbaru, 27/1 (Antara) - Ketua umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengatakan pagelaran wayang merupakan salah satu budaya asli bangsa Indonesia yang harus terus dilestarikan kepada generasi muda saat ini yang akrab dengan teknologi.
"Pagaleran wayang kulit ini hanya ada di Indonesia, tidak ada di negara lain. Bahkan, orang asing saja banyak menonton," kata Magawati dalam sambutannya menjelang pertunjukan wayang di Tugu Proklamasi, Jakarta, Sabtu malam, seperti dikutip melalui siaran pers dari PDI Perjuangan.
Pagelaran wayang bertajuk, "Bima Jumeneng Guru Bangsa" tersebut, merupakan rangkaian dari kegiatan peringatan ulang tahun PDI Perjuangan ke-45.
Megawati dalam sambutannya, menceritakan kenangan masa kecilnya di Istana yang sering menonton pagelaran wayang bersama ayahnya, Presiden Soekarno.
Menurut Megawati, Presiden pertama Republik Indonesia tersebut, sering menyelenggarakan pertunjukan wayang di halaman Istana, dan masyarakat dapat turut menyaksikan.
"Di istana, Bapak dulu sering menyelanggarakan wayangan dan selalu dihadiri masyarakat. Saya ingat benar Istana sampai luber karena banyak masyarakat yang menonton, sampai banyak yang tertidur," kata Megawati.
Presiden kelima Republik Indonesia ini menilai wayang kulit adalah salah satu budaya asli bangsa Indonesia yang positif, karena berpengaruh besar dalam syiar Islam di Indonesia, sejak zaman kerajaan.
Menurut Megawati, wayang sudah ada sejak zaman kerajaan, baik di Pulau Jawa maupun di Sumatera.
"Kalau kita cermati cerita walisongo, terurama Sunan Kalijaga, adalah seniman besar, karena berhasil memasukkan ajaran agama Islam melalui pertunjukan wayang. Ada bukti-bukti sejarahnya," katanya.
Megawati menambahkan, pemuda di era milenial saat ini yang akrab dengan teknologi komunikasi, perlu dikenalkan pertunjukan wayang, sehingga juga bisa akrab dengan budaya asli bangsa Indonesia yang sudah ada sejak lama.
Pagelaran wayang dengan lakon "Bima Jumeneng Guru Bangsa" dimainkan oleh tiga dalang kondang, yakni Ki Purbo Asmoro, Ki Anom Dwijo Kangko, Ki Tjahjo Kuntadi.
Pewarta: Riza Harahap
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018