Malang (ANTARA News) - Pakar budaya Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Budi Utomo Malang Dr Rochsun menyatakan sifat "ladak" atau sombong pada saat ini cenderung menjadi tren bagi kalangan tertentu sebagai pencitraan dirinya atau kelompoknya.

"Pada era kebaruan seperti sekarang, sifat dan sikap sombong banyak digunakan oleh kalangan tertentu maupun pribadi untuk promosi dan pencitraan demi keberlanjutan eksistensi diri," kata Rochsun usai ujian terbuka Program Doktor Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) di Malang, Jawa Timur, Sabtu.

Dalam disertasinya yang berjudul "Spirit Barong Ider Bumi Masyarakat Using Desa Kemiren Banyuwangi" itu, Rochsun mengemukakan, spirit "ladak" memberikan motivasi kepada suatu tindakan yang tidak cukup hanya dengan melakukan aktivitas dan kreativitas, tetapi harus ada inovasi.

Dalam konteks positif, "ladak" atau sombong adalah sifat dan sikap membanggakan diri yang menghasilkan perilaku dan tindakan yang mengarah pada keberlanjutan atau pemertahanan identitas diri atau kelompok.

"Kalau sifat `ladak` (sombong) baru menjadi kecenderungan masa kini, masyarakat Using justru telah melakukannya cukup lama, bahkan turun-temurun," ujarnya.

Sifat dan sikap "ladak" merupakan satu dari tiga nilai-nilai spirit dalam "Barong Ider Bumi" yang diwariskan turun-temurun bagi masyarakat Using Banyuwangi.

Selain "ladak", spirit "Barong Ider Bumi" itu adalah "aclak", yakni spirit yang memberikan motivasi pada aktivitas individu dalam melakukan pemertahanan dan eksistensi dirinya melalui tindakan yang harus mencari tahu (keingintahuan yang tinggi).

Selain itu adalah spirit "bingkak", yakni memberikan motivasi pada aktivitas atau tindakan yang kreatif, meskipun suatu ketika tindakan itu bisa menjadi salah. Artinya selalu melakukan coba-coba (trial and error).


Motivasi

"Nilai-nilai yang terkandung dalam `Barong Ider Bumi` ini mampu menumbuhkan banyak motivasi, seperti ekonomi, sosial, budaya maupun politik (pemerintahan)," ujarnya.

Karena itu, katanya, perlu penataan-penataan yang lebih proporsional agar motivasi tersebut berdampak pada kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat Using dan Kemiren di Banyuwangi.

Hanya saja, kata Rochsun, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah spirit yang melekat pada Barong Ider Bumi sebagai aktualisasi diri individu masyarakat Using sebagai aktor itu merupakan anugerah (given) atau sebagai hasil dari interaksi sosial.

Ketua Tim Penguji Prof Dr Ishomuddin mengatakan, cerita soal budaya akan banyak bersentuhan dengan mitos. Budaya terbagi menjadi dua bagian, yakni budaya yang terkait agama (refleksi) dan tidak terkait dengan agama (reflaksi).

"Dalam Nahdatul Ulama (NU) ada Islam Nusantara dan wujudnya berwarna warni. Wujud itu merupakan wujud budaya. Di Muhammadiyah tidak ada Islam Nusantara, tapi itu biarkan berkembang,seperti Barong Ider Bum, sebab ini adalah realitas," ujarnya.

Islam tidak pernah kosong dari budaya sehingga terjadi pertentangan refleksi dan bukan refleksi. Studi tentang budaya pasti ada yang menciptakan dan diwariskan menjadi sebuah tradisi, meski tidak tahu siapa yang menciptakan sehingga sangat mudah menciptakan budaya dan mudah pula menghilangkannya.

"Barong Ider Bumi" adalah upacara adat tahunan yang diselenggarakan masyarakat Using Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, yang diselenggarakan sejak 1830-an dan sampai saat ini masih tetap eksis serta bertahan karena kepatuhan masyarakat Using kepada "Weluri" .

Dr Rochsun yang dipromotori Prof Dr Ishomuddin dengan Ko promotor I Dr Latipun dan Ko Promotor II Dr Muslimin Machmud itu berhasil meraih nilai A dan lulus dengan predikat sangat memuaskan dengan Indeks Prestasi Komulatif 3,9.

Pewarta: Endang Sukarelawati
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018