Nabeel berada dalam bahaya nyata."
Beirut (ANTARA News) - Perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Bahrain memburuk secara berarti pada tahun lalu akibat pelemahan tekanan internasional terhadap kerajaan Teluk Arab itu, kata pegiat Human Rights First.
"Bahrain sekarang jelas meluncur dalam keadaan baru dan sangat berbahaya, dengan 37 orang ditangkap kemarin saja," kata Brian Dooley dari Human Rights First, yang berkantor di Amerika Serikat (AS).
"Tingkat pengekangan cukup lemah selama ini telah hilang," katanya, seperti dikutip Reuters.
Ia menyatakanbahwa negara berpengaruh atas Bahrain, seperti AS dan Inggris perlu meningkatkan kritik.
Bahrain, tempat kelompok besar Muslim Syiah diperintah keluarga kerajaan Muslim Sunni, melakukan tindakan keras terhadap pegiat oposisi sejak membubarkan unjuk rasa pada 2011, yang menyerukan pemberlakuan demokrasi.
Pihak berwenang menutup kelompok politik oposisi, mencabut paspor pembangkang dan menangkap tersangka militan. Pegiat mengatakan banyak penangkapan ditujukan untuk alasan politik dan melanggar hak asasi manusia para tahanan.
Bahrain, tempat Armada Kelima Angkatan Laut AS bermarkas, menolak tuduhan membatasi perbedaan pendapat. Negara itu mengatakan menghadapi ancaman pegaris keras, yang didukung musuh bebuyutannya, Iran, di sisi berlawanan dari Teluk.
Kedutaan Besar Bahrain di Inggris menanggapi permintaan untuk memberikan komentar, dan mengutip sebuah pernyataan sebelumnya yang mengatakan bahwa negara Teluk berkomitmen "untuk menerapkan transparansi dan perlindungan dan menjaga Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam Konstitusi, dan juga dalam perjanjian dan kewajiban internasional".
Pegiat HAM, pada sebuah konferensi pers di Lebanon pada Kamis (25/1), mengatakan bahwa situasi telah memburuk dan menjadi lebih buruk dengan 19 orang sekarang menerima hukuman mati, serta ada laporan baru mengenai terjadinya penyiksaan dalam tahanan dan pengadilan militer mengadili warga sipil.
Pada Januari 2017 Bahrain menghukum mati tiga warga Syiah karena membunuh tiga polisi dalam serangan bom pada 2014. Hal itu adalah hukuman mati pertama dalam lebih dari dua dasawarsa dan memicu unjuk rasa.
Bahrain dijadwalkan menyelenggarakan pemilihan anggota parlemen pada 2018.
Pegiat HAM juga mengemukakan memiliki informasi baru mengenai kesehatan penggerak aski HAM Nabeel Rajab, yang menjadi terdakwa, dan meminta mendapatkan perawatan kesehatan secara memadai.
"Sinyal mengkhawatirkan baru-baru ini telah berlipat ganda mengenai kondisi penahanannya," kata Dimitris Christopoulos, presiden organisasi HAM FIDH, yang menyerukan pembebasannya. Rajab adalah sekretaris jenderal FIDH.
Rajab, tokoh terkemuka dalam demonstrasi pro-demokrasi 2011, telah masuk dan keluar dari tahanan sejak saat itu.
Dia terancam hukuman 15 tahun penjara atas pernyataan di Twitter tentang perang di Yaman. Vonis dijadwalkan ditetapkan pada 21 Februari 2018.
"Nabeel berada dalam bahaya nyata," kata Sheikh Maytham Al-Salman dari Pusat HAM Bahrain.
Pewarta: Administrator
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2018