Soal pascapanen. Kami beli mau panen berapapun. Harganya 10 persen di atas harga pasar...."

Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jenderal TNI (Purn) Moeldoko menilai setidaknya ada lima persoalan petani dan pertanian di Indonesia. Lima persoalan itu adalah persoalan tanah, modal, teknologi, manjerial, dan pascapanen.


"Pertama persoalannya tanah. Tanah kita sempit. Rata-rata petani kita hanya punya tanah 0,2 ha. Sudah begitu kondisi tanahnya rusak karena penggunaan pestisida dan pupuk anorganik yang berlebihan," kata Moeldoko dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.


Persoalan modal, dijelaskan Moeldoko, petani pada saat mau menanam sudah pusing karena tanam sebelumnya gagal, tanam sebelumnya lagi juga gagal, tapi petani tidak menyerah karena tidak ada kehidupan lain. Apa yang terjadi? Kondisi ini dimainkan oleh para tengkulak dan pengijon yang pada akhirnya petani dalam kondisi lemah, kalah dan terlilit utang.


"Sehingga saat dia akan panen, mereka dikuasai para tengkulak. Saya sempat kelakar dengan Presiden, saat akan panen, petani itu sudah mau kelelep. Modal untuk beli benih, beli pupuk, modal kerja. Kita juga memiliki ketergantungan benih sangat tinggi pada negara lain, apalagi pestisida," kata mantan Panglima TNI ini yang berbicara dalam seminar CEO Talks dengan topik Agroindustry and Investment.


Sementara, lanjut Moeldoko, saat ini petani menghadapi teknologi pertanian belum direspons dengan baik. Petani masih suka menggunakan cara lama meski sudah jelas hasilnya rata-rata hanya 4-5 ton per hektar.


"Banyak yang merasa jagoan karena selama ini hidupnya di pertanian. Pendampingan oleh anak muda sering diremehkan. Saya sering tanyakan ke petani, kamu merasa jago bertani tapi kenapa enggak kaya juga? Karena dia tidak mau berubah," kata pria yang juga menjabat Kepala Staf Presiden (KSP) ini.


Moeldoko menambahkan, yang paling banyak dialami petani adalah persoalan manajerial dan pascapanen. Kebanyakan petani hingga saat ini tidak terbiasa untuk memanage. Berikutnya persoalan harga yang selalu dihadapi petani dari waktu ke waktu.


"HPP enggak tau, tenaga enggak dihitung. Kalau dia bertani jagung, kedelai, apalagi padi. Padi itu enam jam setelah panen harus dikeringkan, kalau tidak akan rusak. Ada kira-kira 10 persen yang lolos saat panen dengan cara tradisional. Dengan teknologi mekanisasi, lost-nya berkurang menjadi 3 persen," papar Moeldoko.


Persoalan-persoalan itulah yang membuat pria kelahiran Kediri, Jawa Timur ini memutuskan terjun ke pertanian untuk turut mencari solusinya. Sejak menjabat Ketum HKTI, Moeldoko kerap bekerjasama dengan para peneliti.


"Setelah pensiun, saya ingin berbuat sesuatu. Pertama ingin mengubah mindset. Bagaimana mengajak petani berpikir progresif, bukan tradisional. Bukan yang pasrah dan berpikir ingin kaya saja tidak berani. Kedua, mengubah metode petanian. Metode yang saya jalankan dengan tagline "mudah, murah, melimpah". Mudah know how nya, murah modal kerjanya, dan melimpah hasilnya," terang Moeldoko.


Bersama HKTI, Moeldoko mencoba memberikan solusi persoalan tersebut. Bagaimana menghadapi tanah yang sempit dan rusak? HKTI lakukan upaya pemuliaan tanah.

"Tanah yang rusak kita perbaiki dengan pendekatan organik. Kita pastikan tanah itu menjadi baik. Tanah sempit kita buat kluster-kluster. HKTI juga memberikan petani pupuk dan benih sehingga petani enggak perlu lagi pusing," ungkapnya.


Tidak hanya itu, HKTI juga memberikan pendampingan, usaha manajemen dan teknologi sehingga petani bertani berteknologi. Manajemen pertanian.

"Soal pascapanen. Kami beli mau panen berapapun. Harganya 10 persen di atas harga pasar. Ini bukan berarti kami jadi pengijon, karena misi sosial kami adalah memuliakan bumi, meningkatkan produktivitas, dan menyediakan asupan makanan sehat bagi generasi muda ke depan. Ini bisa diadopsi, mau di sayur mayur, apa saja bisa," tegas Moeldoko.

Pewarta: Tasrief Tarmizi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018