Washington (ANTARA News) - Sepuluh tahun pasca peran kontroversial dalam krisis finansial Asia, Dana Moneter Internasional (IMF) kini tengah berjuang mencari identitas diri. Lembaga berusia 60 tahun, yang telah menyalurkan pinjaman bersyarat hingga 38 miliar dolar AS dalam 2 tahun kepada negara-negara Asia agar mereka menerapkan kebijakan yang ketat itu, kini menerima banyak penolakan dari negara-negara yang dulu menjadi pasien mereka, AFP melaporkan. "Krisis Asia merupakan awal proses, yang terjadi dalam dekade terakhir, hilangnya pengaruh IMF di dunia," ujar Mark Weisbrot, Direktur bersama "Center for Economic and Policy Research", sebuah lembaga kajian ternama yang berbasis di Washington. Dibentuk usai Perang Dunia II untuk menjaga stabilitas sistem keuangan internasional, IMF kini menghadapi tekanan untuk mereformasi kinerja mereka. Para kritikus menuduh IMF merupakan kepanjangan tangan dari negara-negara kaya yang ingin menerapkan kebijakan pasar bebas. Presiden Venezuela, Hugo Chavez, mengumumkan pada Mei lalu bahwa negaranya keluar dari IMF dan Bank Dunia, yang dituduhnya sebagai "antek imperialisme AS" dalam mengeksploitasi negara-negara miskin. Caracas, mengikuti jejak negara-negara lain di Amerika Latin dan Asia, telah melunasi seluruh utang mereka pada IMF. Beberapa presiden Amerika Latin lainnya, termasuk Presiden Argentina Nestor Kirchner, dan Presiden Ekuador Rafael Correa, juga telah mengindikasikan penolakan mereka terhadap IMF. Dalam sidang umum terakhir mereka di Singapura, IMF menghadapi tekanan untuk memungkinkan negara miskin dan negara berkembang untuk memiliki suara yang lebih di Dewan Eksekutif. Beberapa negara sebenarnya telah menikmati reformasi ini, seperti Korea Selatan yang kini memiliki hak suara baru. Perkembangan baru bakal terjadi pada pertemuan IMF Oktober nanti, namun bisa juga berlanjut hingga 2008. Dalam 10 tahun terakhir sejak krisis finansial Asia, beberapa negara klien IMF telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan kenaikan jumlah kreditur swasta di pasar global juga memberi peluang negara-negara yang membutuhkan pendanaan berpaling dari IMF. Sementara itu, proses reformasi IMF berjalan lamban. Peran pengawasan nilai tukar mata uang IMF telah muncul sebagai salah satu isu penting yang dihadapi IMF. Isu itu juga diyakini akan membawa beberapa risiko politik. Mereka menginginkan pengaruh yang lebih pada negara-negara anggotanya, namun menolak jika dituduh menjadi antek Amerika dalam perang melawan negara superpower Asia, China. Kondisi keuangan IMF sendiri juga tengah mengalami kendala, mengingat rendahnya kredit yang disalurkan kepada anggotanya. IMF telah menunda pertemuan, yang sebelumnya dijadwalkan pada Juni, untuk membahas kemungkinan penjualan cadangan emas mereka untuk membantu kondisi keuangan IMF. (*)
Copyright © ANTARA 2007