Jakarta (ANTARA News) - Peneliti dari Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan, Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Adnan Anwar mengatakan penggunaan isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dalam pemilihan umum, termasuk pilkada, adalah kemunduran dalam berdemokrasi.
"Kalau terjadi isu SARA lagi seperti Pilkada DKI 2017 itu sama saja kemunduran demokrasi di Indonesia. Intinya, jangan sampai terjadi isu SARA lagi," ujar Adnan di Jakarta, Kamis.
Menurut Adnan sudah ada perangkat hukum yang bisa dijadikan tameng untuk membendung isu SARA agar tidak ada lagi pada Pilkada serentak 2018, tinggal kemauan untuk menegakkannya.
Ia mengatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersama dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak boleh membiarkan apabila ada peserta yang menggunakan isu SARA.
"Kalau ada indikasi SARA baik melalui dunia maya, media sosial, atau bahkan terjadi langsung di lapangan ya harus langsung bisa dilakukan penegakan hukum, jangan dibiarkan," katanya.
Menurut dia, keterlambatan penindakan terhadap pengusung isu SARA akan membuat persoalannya berlarut dan berpotensi memecah belah masyarakat sebagaimana terjadi pada Pilkada DKI tahun lalu.
"Tidak ada upaya memanggil pihak-pihak yang terkait. Lalu kerja sama antara sentra badan penegakan hukum terpadu baik dari polisi, kejaksaan, dan Bawaslu itu kan tidak ada dalam kasus Pilkada DKI lalu. Seperti dibiarkan saja. Itu tidak boleh terjadi lagi," katanya.
Ia mengatakan organisasi masyarakat sipil juga harus lebih berani menyuarakan agar dalam pilkada serentak nanti tidak ada yang bermain-main dengan isu SARA karena membahayakan semuanya, termasuk membahayakan fondasi berbangsa dan bernegara.
Adnan berharap peran para ulama dan tokoh masyarakat untuk mendorong masyarakat memilih pemimpin yang berkualitas dalam sebuah pilkada yang baik, dengan cara yang baik pula.
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018