Gresik (ANTARA News) - Gresik adalah kota bandar sudah lama yang ingkar terhadap sejarah, sebuah kawasan pesisir utara Jawa yang melupakan pasir karena terlalu bergantung pada debu-debu gamping.
Hanya beberapa pribumi lokal seperti Mohammad Nadjikh yang tetap mengukuhi akar kepesisiran kota kelahirannya dengan menggalang ratusan ribu nelayan dari berbagai penjuru nusantara untuk membalik arus sejarah.
Pada masa kejayaan Majapahit abad 14, Gresik merupakan utama dan pangkalan kapal-kapal perang armada kelima yang berfungsi mengamankan jalur perdagangan rempah-rempah dari Maluku menuju Timur Tengah dan Afrika melalui Laut Jawa.
Dari kota bandar inilah mengalir kejayaan nusantara dari selatan menuju utara dengan kapal-kapal dagang dan armada perang bersenjatakan cetbang.
Namun, sebagaimana dikisahkan oleh sastrawan besar Indonesia Pramudya Ananta Toer dalam novel "Arus Balik", kolonialisme bangsa peranggi membaliknya menjadi relasi timpang antara penjajah dengan pribumi yang bertahan hingga sekarang.
Sejak saat itu, Gresik sebagai kota pelabuhan kalah pamor dengan Batavia sebagai pusat perdagangan, lalu perlahan surut makin ke dalam menjauhi pesisir --persis seperti perkembangan Indonesia modern, yang menurut data Bank Dunia, fasilitas pelabuhannya kalah dibandingkan dengan negara tertinggal seperti Kenya.
Penghidupan Kota dan Kabupaten Gresik sekarang sangat identik dengan semen karena bergantung pada pertambangan batu-batu gamping di pedalaman. Dari 1,3 juta penduduk, hanya sekitar 24.000 orang yang mengenal laut dengan menjadi nelayan penangkap ikan.
Tapi, ada sedikitnya tiga perkembangan baru yang berpotensi mengembalikan identitas Gresik seperti pada masa kemegahan kerajaan Majapahit. Yang pertama terjadi pada 2014 saat Joko Widodo menyampaikan pidato kemenangan pemilu presiden di atas geladak kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, dengan pesan utama kembali ke laut.
Perkembangan kedua telah dimulai setahun sebelumnya saat Pelindo III membangun pelabuhan internasional terintegrasi baru di Gresik yang menggabungkan kawasan industri, pengapalan, dan pemukiman dengan luas hampir 3.000 hektare.
Yang ketiga dan yang paling menarik untuk didalami adalah upaya dari seorang anak lokal bernama Mohammad Nadjikh untuk mengembangkan industri perikanan terpadu melalui perusahaan yang mulai dirintis pada 1994, PT. Kelola Mina Laut (KML Food), dengan model bisnis inklusif.
KML Food merupakan perusahaan pengolahan hasil laut dari teri, udang sampai tuna dengan kapasitas produksi 40.000 ton per tahun dan distribusi utama ke kawasan Amerika Utara, Eropa, dan Asia Timur.
Kualitas produk mereka diakui banyak kalangan internasional dan sempat dikunjungi langsung oleh Presiden Swiss, Doris Luthard, pada 2010.
Forbes bahkan menyebut Nadjikh sebagai "Seafood King" dalam reportase mereka.
Menggalang nelayan
Yang membedakan KML Food dengan pengolah makanan lainnya adalah bagaimana mereka mendapatkan bahan baku. Banyak korporasi besar di sektor ini yang tidak mau berhubungan dengan petani dan nelayan kecil karena dinilai tidak mampu memastikan pasokan dalam jumlah besar sehingga mengganggu proses produksi.
"Kami justru memberdayakan lebih dari 250.000 nelayan sebagai pemasok," kata Nadjikh yang sekarang menjadi Direktur Pelaksana KML Food pada Rabu di Gresik, saat menerima kunjungan sejumlah wartawan menjelang penjualan sebagian saham pada semester pertama tahun ini.
Nelayan-nelayan binaan itu berasal dari daerah yang memiliki potensi hasil perikanan, seperti Gorontalo, Bitung, Lombok, Flores, Kupang, Dobo, dan Sorong.
Untuk memastikan problem ketidakpastian pasokan, Nadjikh mengembangkan sistem gugus perikanan yang mengonsentrasikan para nelayan atau pembudidaya dengan pabrik pengolahan dalam satu kawasan terpadu. Sistem ini dinilai memudahkan Nadjikh untuk membina para pemasok kecil tradisional.
Dengan sistem gugus, para penambak dan nelayan mendapat kepastian harga dan pembeli, sementara pelaku industri seperti KML memperoleh keamanan kualitas dan kuantitas pasokan.
Nadjikh mengaku sering melihat para nelayan menempatkan ikan ke lantai-lantai dan keranjang kotor di tempat pelelangan. Sementara itu, para penambak memanen udang dan menangkap kepiting ranjungan dengan peralatan seadanya sehingga tidak ada jaminan kebersihan.
"Kami bermitra dengan mereka untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing hasil perikanan," kata dia.
Hasil tangkapan para nelayan itulah yang kemudian diolah oleh KML untuk kemudian dipasarkan di toko-toko ritel terbesar di Amerika Serikat, Walmart, dan dipesan oleh salah salah satu merk makanan laut olahan terbaik di negara yang sama, Panamei.
Dalam skala yang lebih kecil, apa yang dilakukan oleh Nadjikh mengingatkan orang pada rempah-rempah, kapal-kapal dagang imperium Majapahit yang mengarung dari selatan ke utara.
Atas prestasinya mengembangkan model bisnis gugus perikanan ini, Nadjikh pada pekan lalu berhasil mendapatkan penghargaan Otoritas Jasa Keuangan sebagai Tokoh Inspirator Inklusi Keuangan yang diberikan langsung oleh Presiden Joko Widodo.
Secara terpisah, Ketua Asosiasi Pengelolaan Ranjungan Indonesia, Kuncoro Catur, mengakui manfaat sistem gugus karena bukan hanya berhasil meningkatkan kualitas hasil tangkapan tetapi juga memberdayakan perempuan-perempuan pesisir yang memperoleh penghasilan tambahan dengan bekerja di pabrik pengolahan.
"Catatan kami menunjukkan ada sekitar 2.500 perempuan istri nelayan yang bekerja di pabrik mini KML di berbagai daerah," kata Kuncoro.
"McDonalisasi" produk tradisional
Sementara itu, proses di pabrik KML bisa disederhanakan dengan konsep "McDonalisasi" yang pertama kali dikenalkan oleh sosiolog George Ritzer untuk merujuk pada diterapkannya prinsip-prinsip restoran cepat saji yang sangat efisien dengan kontrol kualitas yang sangat ketat.
Antara yang berkesempatan mengelilingi pabrik KML Food di Gresik menyaksikan bagaimana hasil-hasil laut diproses dengan kontrol yang sangat ketat dan dengan cara yang sangat efisien.
Semua orang yang masuk dalam ruang produksi harus mengenakan pakaian serba putih dengan sarung tangan sekali pakai dan rambut yang tertutup.
"Kalau ada sehelai rambut saja ditemukan dalam produk ekspor kami, maka negara tujuan akan langsung menolak satu kontainer sehingga membuat kami rugi banyak," kata Manajer Umum Keuangan KML Food, Hendro Agus.
Mengenai ketatnya proses produksi KML, Nadjikh mengatakan bahwa hal tersebut merupakan upayanya untuk menjadikan tangkapan nelayan tradisional menjadi produk berkualitas tinggi yang layak masuk restoran-restoran berkelas dunia.
Namun, mereka tidak kebal dari kritik. Hingga kini tidak ada ukuran yang jelas keberhasilan pemberdayaan ratusan ribu nelayan binaan Nadjikh. Tidak ada yang tahu apakah para penangkap ikan itu berhasil mendapatkan kesejahteraan yang lebih tinggi setelah bermitra dengan KML Food.
Bahkan menurut catatan peneliti dari Universitas Airlangga, Sudarso, sekitar 70 persen nelayan di Provinsi Jawa Timur kini masih tergolong miskin meski dekat dengan KML Food.
Tapi, setidaknya bisnis perikanan inklusif oleh Nadjikh, dilengkapi dengan upaya Presiden Jokowi untuk menjadikan Indonesia sebagai aksis maritim dunia, adalah bagian dari riak-riak kecil yang diharapkan menjadi arus balik untuk kejayaan nusantara dimulai dari Gresik.
Pewarta: GM Nur Lintang Muhammad
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018