Jakarta (ANTARA News) - Sagu merupakan tanaman potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif dan bahan baku bioenergi.
Sebanyak 60 persen tanaman sagu dunia terdapat di Indonesia yang luasnya mencapai 5,2 juta hektare.
Seluas 51,3 persen areal sagu dunia ada di Indonesia.
Sekitar 1,128 juta hektare hutan sagu tumbuh subur di bumi Nusantara. Dunia punya 2,2 juta hektare dan negeri tetangga Malaysia punya 1,5 persen dan Thailand 0,2 persen.
Raksasa pangan lokal ini masih tidur lelap di Papua, Papua Barat, Maluku, Kalsel kecuali di Riau dan sedikit tempat lainnya, dengan kandungan 84,7 g KH dari per 100 g bahan.
Mendengar kata sagu kita ingat Papeda jenis makanan khas Papua dan Maluku dengan ikan kuah kuning, sayur bunga pepaya, sayur lilin dan varian lainnya.
Sebagai bahan pangan, sagu menghasilkan pati kering sebagai sumber karbohidrat yang juga dapat diolah menjadi bioetanol.
Setiap ton pati sagu dapat diolah menjadi 0,6 kl bioetanol.
Kepala BPTP Balitbangtan Papua menyampaikan bahwa orang kota masih rendah mengkonsumsi sagu (0,08 kg, lebih tinggi di pedesaan (0,71 kg) dan tentu tertinggi di Papua mencapai 205 kilo kalori/kapita/hari.
Membangunkan raksasa pangan lokal sagu butuh inovasi karena tanpa inovasi harga tepung sagu tentu akan tetap mahal karena masalah skala ekonomis dalam sistem produksinya.
Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian dapat mengatasi masalah tersebut.
Mengangkat potensi sagu bersamaan dengan ubi jalar, talas, keladi, gembili, juwawut Papua tentu akan mengurangi ketergantungan akan pangan beras di Papua.
Meski tidak dapat disangkal bahwa Tanah Papua juga akan menjadi lumbung pangan Indonesia masa depan sehingga perlu disiapkan konsep, strategi dan kebijakan-kebijakan pertanian yang sesuai selaras harmoni serta bersinergi dengan adat, budaya, ulayat, dan kearifan lokal tinggi lainnya.
Pewarta: Antara
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018