Indramayu (ANTARA News) - Suasana sepi terlihat di tempat pelelangan ikan di Desa Eretan Wetan, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat.
Ratusan kapal yang berjejer di dermaga juga sepi dari aktifitas. Suasana sepi di TPI dan dermaga itu sudah berlangsung sejak akhir November 2017 yang dikenal sebagai musim barat. Bahkan tahun 2017 musim barat lebih hebat gelombangnya karena sepanjang Desember nelayan pursein tidak bisa melaut sama sekali.
Saat musim itu nelayan Eretan Wetan yang menggunakan pursein dan gilnet, dua alat tangkap yang ramah lingkungan meliburkan diri. Pursein tak efektif jika digunakan saat gelombang tinggi dan arus kuat.
Para anak buah kapal (ABK) akhirnya memilih profesi lain, seperti Wasim, Rasum dan Rantam, ketiganya menjadi buruh tani karena kebetulan di Kandanghaur sedang musim tanam. Ada juga yang menjadi tukang beca seperti Widodo yang mangkal di Pasar Eretan.
Mereka rela tak melaut selama musim angin barat, demi memberikan kesempatan ikan untuk berkembang biak.
"Masa terus menerus ditangkapi, kan ikan juga perlu kawin, bertelur dan besar," kata Widodo yang rata-rata mendapat Rp30 ribu per hari dari mengayuh beca.
Bagi warga Desa Eretan Wetan, mereka meyakini ombak besar selama musim barat merupakan masa pertumbuhan terbaik bagi ikan.
"Ombak besar di musim baratlah yang membuat ikan cepat besar," kata Rasgianto menirukan perkataan ayahnya. Setelah usai musim barat, biasanya hasil tangkapan nelayan selalu melonjak.
Selain musim barat, bagi nelayan pusein dan gilnet dalam setiap bulan ada sekitar sembilan hari yang libur karena laut disirami cahaya bulan. Cahaya lampu dari kapal yang digunakan untuk menarik ikan ke permukaan efeknya terganggu cahaya bulan. Saat itu pun pelelangan di TPI Eretan Wetan juga menurun.
Namun suasana berbeda terjadi di seberang barat Sungai Eretan tepatnya di TPI Eretan Kulon yang hampir setiap hari selalu ada ikan hasil tangkapan karena nelayan di sana masih menggunakan cantrang dan arad. Dua dua alat tangkap yang sebenarnya sudah dilarang Pemerintah melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 2 tahun 2015. Namun pemerintah memberikan toleransi sampai akhir 2017 dan toleransi kembali diberikan sampai waktu yang belum ditentukan saat ribuan nelayan demo di depan Istana Presiden pada 17 Januari 2018.
Cantrang memang bisa dioperasikan kapan saja tanpa mengenal musim. Selain harga jaringnya lebih murah, hasil tangkapan jaring cantrang dan arad juga jauh lebih banyak dibanding jaring pursein dan gilnet. Wajar jika desa nelayan yang masih menggunakan cantrang dan sejenisnya selalu ada hasil tangkapan yang bisa dilelang.
Ibaratnya menurut, H Mansyur Idris, Ketua KUD Misaya Mina di Eretan Wetan, jika di TPI Eretan Kulon mampu mencapai omzet pelelangan Rp30 miliar setahun, maka di TPI Eretan Wetan hanya Rp15 miliar per tahun.
Namun menurut Mansyur, nelayan tetap mensyukuri berapa pun hasil tangkapannya dan masih konsisten untuk tidak menggunakan alat tangkap cantrang dan sejenisnya.
Mengapa Tak Tergoda
Jika di wilayah Pantura Jawa Tengah, pertumbuhan alat tangkap cantrang terus terjadi, namun nelayan di Eretan Wetan hampir tak ada yang tergoda untuk beralih ke cantrang.
Ketika terjadi masa sulit mendapatkan ABK di tahun 2013-2014 pemilik kapal beralih ke ukuran kapal yang lebih kecil yaitu dari kapal di atas 30 Gross Ton (GT) kemudian berganti ke kapal berukuran sekitar 20 GT. Mereka juga memodifikasi jaring pursein menjadi lebih kecil atau mini pursein. Sebagian juga beralih ke jaring pursein cumi dan pursein waring.
Sebenarnya mereka bisa beralih ke cantrang yang mampu dioperasikan dengan ABK yang lebih sedikit, tetapi mereka tak mau meninggalkan pesan leluhur mereka yang selalu mengingatkan pentingnya kelestarian sumber daya ikan. Ikan perlu diberi kesempatan untuk berkembang biak dan jangan sampai terus diburu setiap hari.
Pursein mini ini telah menjadi pilihan banyak nelayan yang sebelumnya menggunakan cantrang. Bahkan di Gebang di Kabupaten Cirebon dan Pulo Lampes di Kabupaten Brebes nelayan menggunakan pursein waring untuk menangkap teri dengan ukuran jaring lebih kecil.
Purse sein atau disebut nelayan sebagai pursein merupakan alat yang menangkap ikan di permukaan. Lokasi penangkapan diterangi lampu sehingga ikan berkumpul kemudian jaring ditebar kapal mengelilingi sasaran setelah itu bagian bawah jaring ditarik sehingga menutup ruang di atasnya dan ikan terjebak. Lampu harus cukup kuat yang minimal menggunakan empat set lampu masing-masing 3.000 watt. Biasanya ada kapal pendamping yang membawa lampu sementara kapal utama membawa jaring.
Ikan yang tertangkap antara tembang, ekor kuning, lemuru, tembang, bawal, tongkol, tengiri, dan banyar.
Pursein mini ini lebih cocok dengan kondisi ABK di Kandanghaur yang sebagian juga mempunyai usaha tani karena hanya berlayar satu sampai dua hari. Kalau melaut sampai seminggu, ABK yang juga petani biasanya enggan karena takut tanaman padi dan palawijanya ada gangguan hama atau perlu perawatan lain.
Sementara jika pakai kapal 30 GT dengan jaring pursein besar maka lama berlayar satu minggu dengan jumlah ABK sekitar 30 orang.
Menurut Rasgianto, pemilik kapal Putri Angkut, dengan hanya berlayar dua hari maka biaya melaut hanya Rp6 juta sementara jika seminggu harus disiapkan sekitar Rp20 juta. Dengan ABK yang lebih sedikit maka bagi hasil tangkapan juga lebih besar. Pemilik kapal sekaligus pemodal melaut mendapat hak 50 persen hasil penjualan setelah dikurangi modal melaut. Sisanya dibagi untuk anak buah kapal.
Rata-rata mereka mendapat tangkapan satu ton dengan hasil penjualan Rp15 juta sehingga hasil bersih Rp9 juta dibagi 50 persen untuk 20 ABK atau sekitar Rp200 ribu lebih per ABK.
Rumpon
Saat musim bulan terang selama 9 sampai 10 hari, nelayan pursein Eretan Wetan masih bisa melakukan penangkapan dengan memancing kemunculan ikan menggunakan rumpon.
Seperti diketahui sekitar 18 mil dari bibir pantai, kondisi terumbu karang di sekitar perairan Indramayu sudah rusak parah. Salah satunya akibat diterjang pukat hela seperti cantrang dan arad.
Berdasarkan pengalaman nelayan Eretan Wetan dengan ditanam rumpon yang dibentuk dari daun kelapa maka memancing ikan untuk datang. Biasanya setelah satu minggu ditanam sudah banyak ikan berkumpul. Setiap rumpon diberi tanda berupa pelampung dan dicatat posisinya melalui alat GPS.
Nelayan selalu menanam rumpon itu agar saat musim terang bulan masih ada kesempatan menjaring ikan, namun tebar jaringnya bukan jam 22.00 tetapi sekitar pukul 04.00 sampai 04.30 atau dalam istilah setempat sebagai waktu "serapatan"
Sebelum jaring ditebar, rumpon diangkat dulu. Kemudian jaring pursein ditebar melingkar lalu diangkat. Hasilnya terkadang mendapat ikan yang harganya mahal seperti ikan banyar dan como yang mencapai Rp20 ribuan per kilogram dan ikan banyar. Hasil tangkapan itu mampu menutupi biaya melaut.
Sayangnya tidak semua rumpon bisa tetap diposisinya karena 60 persen hilang akibat arus laut atau terseret jaring trawl.
Bagi nelayan cantrang sebenarnya tidak ada alasan untuk beralih ke alat tangkap yang ramah lingkungan karena potret nelayan di Eretan Wetan bisa menjadi contoh.
Mereka tidak merasa rugi dengan tidak melaut setiap hari karena mau berkorban demi memberi nafas bagi kehidupan biota laut agar bisa bereproduksi dan memberikan kesempatan tumbuh dewasa.
Pewarta: Budi Santoso
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018