Menantu Daoed Joesoef, Bambang Pharmasetiawan, mengaku keluarga sangat kehilangan sosok cendikiawan ternama tersebut.
"Selain karena usia sudah tua, jantung bapak juga pernah dipasang ring pada 18 tahun yang lalu," kata Bambang saat ditanya mengenai penyebab kematian mertuanya.
Daoed Joesoef lahir di Medan, Sumatera Utara, pada 8 Agustus 1926. Daoed dilahirkan dari pasangan Moehammad Joesoef dan Siti Jasiah asal Jeron Beteng, Yogyakarta.
Daoed menikah dengan Sri Sulastri dan dikaruniai anak Sri Sulaksmi Damayanti.
Daoed Joesoef memperoleh gelar sarjana ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1959). Ia kemudian mengabdi di almamaternya.
Ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Prancis, untuk mengambil gelar Doctorat de l`Universite (doktor untuk ilmu hubungan internasional dan keuangan internasional) dan Doctorat d`Etat (doktor untuk ilmu ekonomi) di Universite Pluri-disciplinaire de Paris I, Pantheon-Sorbonne (1972) dengan beasiswa dari Ford Foundation.
Pria yang menguasai bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis ini kerap mengadakan diskusi tentang ekonomi dan politik Indonesia saat menimba ilmu di Prancis.
Setelah kembali ke Indonesia, bersama dengan Ali Moertopo, Soejono Humardhani dan Harry Tjan Silalahi, wadah diskusinya tersebut menjadi wadah pemikir kebijakan publik yang saat ini dikenal dengan Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Pada 1978, ia ditunjuk Presiden Soeharto untuk menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud).
Saat menjabat sebagai Mendikbud tersebut, Daoed mengeluarkan kebijakan yang kontroversial yakni Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang dimaksudkan untuk membersihkan kampus dari kegiatan-kegiatan politik yang diatur dalam surat keputusan Menteri Nomor 0156/U/1978. Aturan itu, menghapuskan Dewan Mahasiswa di seluruh universitas yang ada di Tanah Air.
Aturan tersebut, dinilai banyak pihak sebagai upaya untuk mematikan daya kritis mahasiswa. Setahun kemudian, ia juga mengeluarkan Surat Keputusan No 037/U/1979 yang isinya mengatur bentuk dan susunan organisasi kemahasiswaan yang bertujuan untuk mengontrol kegiatan mahasiswa dari kegiatan politik dan penyatuan keorganisasian mahasiswa dengan kampus melalui rektor dan dekan.
Aturan lainnya yang dibuat yakni mengeluarkan keputusan yang melarang liburan pada masa bulan puasa.
Menurut Danang Pamungkas dari Pendidikan Sosialogi Universitas Negeri Yogyakarta, NKK/BKK lahir tak lepas dari peristiwa 15 Januari 1974 atau yang dikenal dengan Malari.
Hingga akhir hayatnya, Daoed Joesoef tetap aktif dalam menyumbangkan pikirannya di sejumlah bidang untuk kemajuan bangsa.
Seniman
Daoed Joesoef bukan hanya sekedar, birokrat biasa, tapi juga seorang seniman dan juga penulis.
Semasa revolusi, Daoed menjadi anggota Divisi IV Sumatera Timur. Ia kemudian pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan menjadi anggota Tentara Pelajar Batalion 300.
Saat menempuh pendidikan di Kota Gudeg itu pula, bakat melukisnya tersalurkan dengan bergaul dengan Nasjah Djamin, Affandi, dan Tino Sidin.
Bahkan, ia diangkat menjadi Ketua Seniman Indonesia Cabang Yogya, yang berpusat di Solo dan diketuai S Sudjojono.
Tak hanya melukis, Daoed juga gemar menulis bahkan hingga akhir hayatnya menjadi kolumnis di sejumlah surat kabar di Tanah Air.
Semasa senjanya, ia aktif menulis buku. Buku kenangannya terhadap sosok yang paling berjasa bagi dirinya adalah ibunya yang tertuang dalam buku berjudul "Emak" (2003) yang ditulisnya pada usia 77 tahun.
Melalui buku setebal 408 halaman itu pula, ia mengenang sosok Emak yang berperan besar dalam membentuk dirinya seperti saat ini. Dalam buku itu, Daoed bercerita mengenai sosok ayahnya yang seorang mantan pendekar dan ibunya yang seorang ibu rumah tangga yang pintar memasak.
Melalui buku yang terbagi dalam 19 judul itu, Daoed bercerita mengenai Emaknya yang hobi membaca dan sangat memengaruhi Daoed kecil. Emaknya rela memberikan tambahan uang saku untuk meminjam buku di perpustakaan swasta. Hal itu dikarenakan buku di Balai Pustaka kurang lengkap pada saat itu.
"Membaca itu kebutuhan buat saya, dan bukan hobi," kata Daoed semasa hidupnya.
Sebagai penulis, Daoed Joesoef tak hanya menelurkan "Emak", tetapi sejumlah warisan intelektual lainnya seperti "Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran", "Teman Duduk: Kumpulan Cerpen", "Borobudur", "Dua Pemikiran tentang Pertahanan Keamanan dan Strategi Nasional".
Selanjutnya "10 Wacana tentang Aneka Masalah Kehidupan Bersama", "Dua Renungan tentang Manusia, Masyarakat dan Alam", "Anak Tiga Zaman: Rekam Jejak", "Bukuku Kakiku", "Imagined Affandi".
Lagi-lagi yang memotivasinya membagikan isi pemikirannya adalah sosok Emak, yang mengatakan, "Kita tidak akan kehilangan apa-apa dengan menceritakan pada orang lain".
Uniknya, Daoed mengetik semua karyanya tersebut dengan menggunakan mesin ketik alasannya jika tak mendengar suara ketikan, idenya tidak keluar.
Kini sosok tokoh bangsa yang multitalenta telah berpulang kehadirat yang Maha Kuasa, namun pemikirannya akan abadi dalam setiap karya-karyanya.
Pewarta: Indriani
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018