Jakarta (ANTARA News) - Peringatan hari jadi ke-59 Kabupaten Sumbawa turut dihadiri oleh putra daerah yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah.


Fahri menjadi kebanggaan di wilayah yang masih berstatus kabupaten tertinggal itu karena berhasil menancapkan kariernya di jajaran pimpinan parlemen.


Fahri pun mengaku bangga sebagai anak Sumbawa, "istilahnya gemburuh, itu tidak ada dalam bahasa Indonesia, bukan sekedar bahagia tapi dada yang berguncang karena bangga menjadi orang Sumbawa,” kata Fahri.


Fahri bak selebritis di kampung halamannya tersebut, warga berebutan meminta foto bersama. Tetapi puluhan tahun silam, Fahri hanya seorang bocah yang tinggal 50 kilometer jauhnya dari Kota Sumbawa, yakni desa Utan, di pesisir Sumbawa.


Sejak SD, Fahri sudah membantu ibunya berdagang, sementara ayahnya bertani.


"Saya dagang apa saja, mulai dari permen, kue, roti," kata Fahri kepada ANTARA News saat mengenang masa kecilnya.


Ibunya merupakan pembuat kopi. Kopi Tepal menjadi andalan mereka. Fahri kebagian tugas menjual kopi produksi ibunya ke pasar. Selain berjualan kopi, Fahri juga berdagang permen di sekolah. Fahri dan ibunya memproduksi permen yang dibuat dari gula merah.


"Saya kan sekolah pagi, sorenya saya jualan di depan sekolah untuk anak-anak yang sekolah sore. Permennya terbuat dari gula merah, dimasak sampai kental, lalu diaduk kemudian ditaruh di atas terigu. Setelah itu dibentuk, yang premium kita taruh kacang," tutur Fahri.


Dari berjualan itu, Fahri mengaku bisa menabung dan musim kampanye adalah keberkahan bagi Fahri kecil karena dagangannya pasti laris manis.


"Paling ramai itu kalau kampanye Partai Golkar. Saat musim kampanye, saya pikul dagangan saya ke lapangan. Sambil jualan, saya suka melihat orang pidato. Padahal waktu itu saya masih SD. Kalau ada yang pidato saya berhenti dagangnya, saya nonton yang pidato," ungkap Fahri.


Fahri tidak pernah menyangka bahwa pada akhirnya ia bisa menjadi politisi besar, seperti yang dulu sering ia saksikan sewaktu kecil.


"Tetapi walaupun orang kampung, saya mempunyai mimpi besar," kata Fahri.



Fahri dan Sri Mulyani


Meski harus berjualan, Fahri tetap mengukir prestasi dengan selalu menjadi juara 1 di sekolah sejak SD hingga SMA.


Saat di bangku SMA, Fahri pindah ke Kota Sumbawa dan tinggal bersama kakaknya di dekat Bandara Kota Sumbawa Besar yang dulu namanya masih Bandara Brang Biji (sekarang Sultan Muhammad Kaharuddin III).


"Dulu kan orang yang naik pesawat itu orang-orang tertentu, jadi saya suka tahu siapa yang datang. Saat itu pesawat terbang hanya seminggu sekali," kenang Fahri.


Menjelang lulus SMA, Fahri bertekad untuk kuliah di Institut Teknologi Bandung dengan memilih jurusan Teknologi Industri. Tetapi mimpinya harus ia simpan karena ia gagal dan harus rela pada pilihan kedua, jurusan Pertanian di Universitas Mataram. Ia pun merantau ke Lombok dan berkuliah di sana. Meski mengaku tidak serius kuliah, ia selalu berhasil meraih IPK nyaris 4.


Fahri tidak putus asa. Tahun berikutnya ia mencoba lagi menembus ITB, namun lagi-lagi gagal.


"Saya merasa diri ini pintar, ranking satu terus dari SD sampai SMA. Pikiran saya pasti bisa masuk kemana pun. Tetapi saat tes agak enggak pede juga, saya beli buku bank soal kok agak lain. Saya mengerjakan tes susah," ujar Fahri.


Pada tahun ketiga di bangku kuliah, ia memutuskan mengambil cuti saat tiga bulan menjelang UMPTN.


Ia kemudian kabur ke Jakarta ke rumah pamannya, karena tidak mendapat dukungan dari kedua orang tuanya.


"Saya langsung ke Masjid UI, bertemu teman. Lalu disarankan les ke Nurul Fikri. Saat ikut bimbel saya baru sadar banyak yang tidak diajarkan waktu saya sekolah dulu. Diajarin cara jawab soal, saya pikir gila juga ada rumus dan gampang sekali, dan itu saya tidak dapat pas sekolah," kata Fahri.


Akhirnya Fahri diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 1992.


Tetapi tekadnya untuk bisa kuliah di universitas ternama Indonesia bukan alasan akademis.


"Saya merindukan suasana dunia aktivis," ujar suami dari Farida Briani itu.


Akibat aktif di organisasi dan dunia aktivis, Fahri kerap bolos kuliah. Dia pun sering kena tegur dosen pembimbingnya yang tidak lain merupakan Menteri Keuangan Sri Mulyani.


"Saya adalah murid binaan akademik pertama Sri Mulyani setelah ia kembali dari Amerika mengambil gelar doktor," ungkap Fahri.


"Setiap pemeriksaan kartu akademik, dia ngomel terus. 'Fahri kamu nih apa sih, keliatannya kamu jarang hadir di kelas, jarang baca text book'," kenang Fahri bagaimana dia dulu sering kena teguran dari Sri Mulyani.


Menurut Fahri, Sri Mulyani adalah dosen yang mengharuskan mahasiswa memenuhi standar-standar akademik. Sehingga Fahri sering kena teguran karena tidak masuk kuliah.


Kegiatan Fahri sebagai aktivis memang berkembang sejak kuliah di UI. Tercatat, ia pernah menjadi ketua umum Forum Studi Islam di fakultasnya, dan juga ketua departemen penelitian dan pengembangan di senat mahasiswa universitas periode 1996-97.


Seiring bergulirnya Reformasi pada 1998, Fahri yang aktif di organisasi-organisasi mahasiswa Islam di Jakarta turut membidani kelahiran Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di Malang, dan menjabat sebagai Ketua I pada periode 1998-1999.


"Orang tidak tahu saya dekat sama dia (Sri Mulyani). Kedekatannya itu unsur murid-guru dan gengsi juga. Beliau ada gengsi kadang-kadang depan Jokowi. Saya juga ambil magister kebijakan publik, program yang dibuat oleh Bu Sri Mulyani," kata Fahri.


"Saya pernah bilang ke dia, 'Bu coba kalau dulu saya tekun belajar seperti ibu, jadi dosen saya'. Cuma kan jalur saya dan dia beda. Dia jalurnya menteri," tambahnya.


Perjuangan Fahri yang merupakan bocah pesisir Sumbawa menurutnya membentuk karakter dirinya.


"Saya mengerti uang datang darimana, saya menghargai kerja orang," tuturnya.


Fahri yang aktif dunia sosial media terutama Twitter juga tidak ambil pusing atas serangan yang sering ia terima.


"Kalau tertembak biasa. Yang penting sejatinya kita tidak punya masalah, karena orang yang berani tampil dengan identitas asli pasti orang itu punya daya tahan karakter yang kuat. Karena ada orang yang punya masalah record kepribadian, begitu di-attack langsung kabur dan menutup akunnya," jelas ayah dari empat anak itu.


Ia juga berharap agar masyarakat Indonesia mencapai kemerdekaan hidup, kesejahteraan, dan keadilan.


"Saya tidak mau meletakkan perjuangan sebagai karier pribadi apalagi ego pribadi. Menurut saya perjuangan itu pencapaian kolektif dari masyarakat, apakah mereka sudah mencapai seusatu yang harusnya mereka capai, seperti kemerdekaan hidupnya, kemajuan ekonomi , kesehateraan, pelayanan, keadilan. Selama itu belum tercapai maka saya mengatakan itu belum tercapai karena pondasi itu harus diletakkan," tutur fahri.


"Kenapa saya suka keras mengatakan sesuatu karena saya enggak mau itu sekedar menjadi prestasi pribadi, tapi saya mau jadikan itu sebagai prestasi masyarakat," tambahnya.


Pewarta: Monalisa
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018