Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah seyogianya tidak abai terhadap eksistensi masyarakat adat, karena keberadaan kelompok itu jauh lebih lama dari merdekanya Indonesia, kata Wakil Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Dr Kunthi Tridewiyanti di Jakarta, Selasa.
Kunthi menyampaikan hal itu dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, terkait pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat.
RDPU yang dipimpin oleh Ketua Komite I Drs H Akhmad Muqowam dan Drs H A. Hudarni Rani dihadiri oleh 14 anggota Komite I DPD RI.
Asosiasi, kata Kunthi, mengingatkan agar Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang tersisa kurang dari dua tahun, dapat mendorong agar RUU itu segera disahkan.
Ia mengatakan, lemahnya pengelolaan tanah adat di berbagai wilayah merupakan sinyal bahwa pemerintah belum melindungi masyarakat ulayat secara optimal. Bahkan, soal penggunaan anggaran desa yang tiap wilayahnya mendapat jatah lebih dari Rp1 miliar per tahun, sebagian masyarakat adat lebih banyak berperan sebagai penonton.
Oleh karena itu, kata Kunthi, APHA telah melakukan penelitihan dan serangkaian seminar di berbagai universitas, seperti Universitas Hasanuddin Makasar, Univeritas Jember, Universitas Pancasila di Jakarta, agar sepakat untuk mendorong DPR untuk merampungkan RUU tersebut karena sudah mangkrak lebih dari 17 tahun.
"Sudah 17 Tahun perintah UUD 45 tersebut belum terwujud, sehingga Rancangan Undang-Undang ini menjadi pembahasan yang harus mendapat perhatian khusus, baik dari pemerintah maupun dari para anggota dewan, termasuk juga anggota DPD RI," katanya.
APHA telah memberi 10 masukan mengenai RUU Masyarakat Adat, diantaranya, perlunya meninjau kembali nomenklatur dalam RUU Masyarakat Adat agar tidak ada kerancuan antara masyarakat hukum adat, masyarakat adat, dan masyarakat tradisional.
Kedua, RUU Masyarakat Adat ini mesti bersifat unifikasi administrasi dan tetap memperhatikan pluralisme hukum.
Ketiga, RUU Masyarakat Adat sebaiknya memuat konsep hukum adat, adat istiadat, dan adat. Namun perlu dikaji kembali agar tidak ada kerancuan.
"Masyarakat adat memang punya hukum sesuai dengan apa yang diyakini selama ini, tetapi hukum itu juga tidak boleh bertentangan dengan hukum nasional seperti KUHP, misalnya jika ada pembunuhan tetap harus diproses lewat aturan negara," tegas Kunthi.
RDPU dengan DPD itu juga menghadirkan narasumber Prof Bagir Manan, mantan Ketua Hakim Agung, dan sejumlah pakar dari perguruan tinggi.
Sementara itu di tempat terpisah, Ketua Umum APHA Dr Laksanto Utomo menambahkan, RUU ini perlu mengakomodir pranata hukum yang dimiliki masyarakat adat sebagaimana telah tertuang dalam UUD 1945, sehingga perlu ada Undang-Undang lebih lanjut untuk mengatur masyarakat ulayat.
Pewarta: Theo Yusuf
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018