Jakarta (ANTARA News) - PT Garuda Indonesia (Garuda) tengah mengkaji ulang (review) kebijakan efisiensi bahan bakar (fuel) pesawat melalui mekanisme insentif bagi para pilot dengan prosentase tertentu, sementara itu KNKT menilai kebijakan itu berpotensi mengabaikan faktor keselamatan dan keamanan (safety) penerbangan. "Kami sedang `review` kebijakan itu, khususnya mekanisme insentifnya, misalnya tak hanya kepada pilot yang bersangkutan, tetapi kelompok pilot," kata Dirut Garuda, Emirsyah Satar, dalam Seminar Membangun Keamanan, Keselamatan dan Kenyamanan Terbang di Tanah Air di Jakarta, Selasa. Penegasan tersebut disampaikan pada saat menjawab salah seorang peserta seminar yang meragukan efektivitas program tersebut, khususnya ketika dikaitkan dengan potensinya yang bisa menyerempet ke tindakan-tindakan yang tidak mengindahkan keamanan. Menurut Emirsyah, pihaknya selama ini telah menerapkan insentif untuk para pilot demi meningkatkan kualitas persaingan saat ini. "Dulu memang era monopoli, tapi kini kompetisi kian ketat. Untuk itu, efisiensi segala sisi perlu ditempuh. Karyawan dikondisikan dengan mekanisme reward dan punishement sesuai dengan prestasinya," katanya. Sementara itu, Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi Nasional (KNKT), Tatang Kurniadi yang ditemui ANTARA di sela acara itu menandaskan, insentif kepada para pilot dengan cara seperti yang dilakukan Garuda, sangat berpotensi mengancam keselamatan dan keamanan penerbangan. "Mestinya Garuda bisa menawarkan kebebasan efisiensi kepada karyawannya tetapi tidak melalui efisiensi fuel karena ini bisa `un-safety` (tidak aman, red)," katanya. Dia menegaskan, seorang pilot dalam menjalankan pesawatnya, mestinya diberi kewenangan untuk menggunakan bahan bakarnya tanpa mengabaikan unsur keselamatan. Dia mencontohkannya, seorang pilot yang hendak mendaratkan pesawatnya dan ternyata ada yang kurang pas misalnya cuaca jelek dan sebagainya, maka dia akan dengan senang hati dan tanpa hambatan untuk melakukan upaya berputar dulu (holding) untuk beberapa waktu dan ini tentu memboroskan fuel. "Nah, jika ada kebijakan insentif lewat penghematan, maka dikhawatirkan hal-hal seperti itu dilabrak," kata Tatang. Kebijakan insentif bagi pilot yang mampu menghemat fuel ini, seperti diakui Direktur Operasi Garuda, Ari Sapari diterapkan sejak pertengahan Maret 2007 atau beberapa hari sejak kecelakaan pesawat GA-200 di Bandara Adi Sucipto pada 7 Maret 2007. "Pilot dapat prosentase tertentu yakni sekitar tiga persen dari fuel yang dihemat setiap penerbangan," kata Ari saat itu. Menanggapi hal itu, Emirsyah seusai menjadi pembicara dalam acara itu, mengatakan "terlalu dini" untuk dinilai bahwa kebijakan tersebut membahayakan keselamatan penerbangan. "Justru yang kami lakukan adalah tren global. Semua berhemat akan fuel tanpa mengabaikan faktor safety," kata Emirsyah.Dihubungi terpisah, Ketua Bidang Humas Serikat Karyawan Garuda (Sekarga), Tomy Tampatty, menilai bahwa kebijakan manajemen Garuda tersebut bagaikan memberi gula-gula yang sangat berbahaya bagi keamanan. "Harusnya manajemen lakukan proses bisnis yang benar tanpa berspekulasi kepada upaya yang `nyerempet` pada 'safety'. Tanpa harus menghemat fuel dan menekan pilot pun asal proses bisnis mampu dilakukan, direksi juga mampu membayar 15 ribu dolar AS gaji para pilot," kata Tomy. Presiden Asosiasi Pilot Garuda, Capt. Stevanus yang dihubungi terpisah juga sepakat kebijakan itu `nyerempet" pada safety, apalagi jika pedoman insentifnya kepada individu-individu pilot. Stevanus juga membenarkan bahwa manajemen telah membekukan kebijakan itu pada 1-2 minggu lalu untuk mencari metode yang lebih baik. "Itu sudah ditunda. Meski begitu, hingga saat ini kami belum pernah menerima insentifnya," kata Stevanus menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007