"Kami akan melakukan pengawasan karena BI jelas melarang transaksi menggunakan `virtual currency`," kata Budi di Yogyakarta, Rabu.
Meski demikian, Budi mengakui, hingga saat ini belum menemukan penggunaan bitcoin atau uang virtual lainnya di Yogyakarta. Kebanyakan masyarakat maupun wisatawan di kota gudeg itu, menurut dia, masih menggunakan cara konvesional misalnya dengan sistem transfer atau dengan menggunakan e-money.
"Di Yogyakarta belum menemukan (transaksi dengan uang virtual)," kata Budi.
Budi mengatakan penggunaan uang virtual sebagai alat transaksi dilarang karena dapat mengacaukan stabilitas sistem keuangan secara nasional. Di sisi lain uang virtual seperti bitcoin juga dinilai rentan dimanfaatkan untuk mendukung tindak pidana pencucian uang.
"Kami akan menindak apabila kedapatan bertransaksi dengan uang virtual, apalagi kalau digunakan untuk pencucian uang, itu ada hukumnya," kata dia.
Sebelumnya, BI memperingatkan bahwa mata uang digital termasuk bitcoin dilarang digunakan sebagai alat pembayaran menurut Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Undang-Undang No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang menjelaskan bahwa setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menggunakan Rupiah.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman mengatakan transaksi menggunakan mata uang virtual juga tidak ada administratur resminya, tidak memiliki underlying asset atau acuan yang mendasari harga mata uang digital, dan nilai perdagangan jenis mata uang itu yang sangat fluktuatif.
Kondisi yang demikian membuat pembayaran menggunakan mata uang itu sangat rentan terhadap risiko penggelembungan, serta rawan digunakan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018