Jepara (ANTARA News) - Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, menilai beban kurikulum yang terlalu berat dan sedikitnya ruang bagi tumbuhnya kreativitas menyebabkan sekolah menjadi penjara bagi peserta didik. "Sistem pendidikan kita memperlakukan anak seperti robot. Anak ke sekolah harus membawa koper berisi begitu banyak buku, sampai di rumah masih harus mengerjakan PR. Habis itu terus teler," katanya, di depan peserta Perkemahan Ilmiah Remaja Nasional (Pirnas) di Jepara, Selasa. Seto Mulyadi yang biasa disapa Kak Seto itu menggugat, dengan beban sekolah yang demikian padat, lantas kapan anak-anak memiliki waktu untuk bermain. Padahal, katanya, bermain merupakan salah satu unsur penting dalam tumbuh kembang fisik, intelektual, dan mental anak. Sistem pendidikan yang kaku dan mengekang seperti itu, katanya, menganggap otak anak-anak kosong, sehingga harus dijejali dengan berbagai hafalan materi pelajaran. Karena sekolah sudah seperti penjara bagi peserta didik, kata Kak Seto, maka ketika guru mengumumkan siswa bisa pulang lebih awal karena guru akan rapat, reaksi spontan siswa adalah kegirangan. "Mereka bergembira karena bisa lepas sejenak dari penjara," katanya. Menurut dia, karena beban di sekolah berat, tidak mengherankan bila sebagian anak pada saat ini ada yang mengidap fobia sekolah (school phobia), yang manifestasinya bisa bermacam, misalnya merasa sakit, tidak enak badan, dan lainnya. Kak Seto mengatakan beban berat tersebut tidak hanya dialami siswa di Indonesia, tetapi dihadapi siswa bangsa-bangsa lain yang ingin mengejar kemajuan, terutama bangsa-bangsa di Asia, seperti Jepang, Korea Selatan, Singapura, Taiwan, dan lainnya. "Mereka stres menghadapi situasi sekolah dan lingkungan yang begitu menekan, sehingga ada yang nekat bunuh diri. Padahal semua anak ingin bersekolah dalam situasi gembira," katanya. Ia mengingatkan kurikulum pendidikan dasar di Indonesia terlalu padat, sehingga kurang memberi ruang ekpresi dan kreativitas bagi peserta didik. Padahal, pendidikan nasional bertujuan mengembangkan segenap potensi peserta didik, bukan ingin menciptakan robot atau bebek-bebek (penurut, red). Menurut dia, kreativitas dengan kedisiplinan seseorang bisa berjalan beriring karena itu keliru bila kebebasan dan kreativitas identik dengan ketidakdispilinan. "Kecerdasan intelektual (IQ) bukan segala-galanya. Masih ada banyak kecerdasan yang bisa dikembangkan untuk tumbuh kembang anak," katanya. Ia memberi ilustrasi lima tokoh nasional yang memiliki prestasi istimewa di bidangnya masing-masing. B.J. Habibie yang ahli pesawat terbang, Rudy Hartono (juara tujuh kali berturut-turut All England), Rudy Salam (aktor), Rudi Hadisuwarno (tata rias), dan Rudy Choirudin (kuliner). "Jadi, spektrum kecerdasan itu sangat luas. Rudi Hadisuwarno ketika kecil hobi menggunting-gunting kertas, lantas belakangan mahir gunting rambut," katanya. Pendidikan terbaik Di tempat sama, Kepala Biro Kerja Sama dan Pemasyarakatan Iptek Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Neni Sintawardani, mengemukakan Finlandia merupakan negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia. Padahal, katanya, di negara itu siswa hanya menempuh belajar di sekolah 30 jam per minggu, sedangkan di Korsel 50 jam dan siswa Indonesia menghabiskan waktu di sekolah jauh lebih banyak dibanding murid Finlandia. "Finlandia bisa sukses karena guru-gurunya berkualitas. Yang menjadi guru adalah lulusan terbaik SMA. Gaji mereka tidak fantastis, tapi profesi mereka sangat dihargai," kata Neni. Kunci sukses lain Finlandia, katanya, guru di negeri itu tidak pernah mengritik siswa yang gagal, tetapi terus mendorong siswa bisa bekerja independen. "Kegagalan siswa juga menjadikan guru introspeksi. Apa yang salah dengan sistem pembelajaran," katanya. Pirnas yang diikuti 135 siswa SLTP an SLTA dari 17 provinsi di Indonesia dan diikuti 42 guru pendamping itu akan berlangsung hingga 1 Juli 2007. Pirnas VI yang terselenggara atas kerja sama LIPI, Undip Semarang, dan Pemkab Jepara ini meliputi bidang IPA, teknik, dan sosial. (*)
Copyright © ANTARA 2007