Jakarta (ANTARA News) - Ombudsman Republik Indonesia menemukan gejala maladminstrasi dalam pengelolaan data stok dan rencana impor beras sebanyak 500 ribu ton oleh pemerintah.
�Kami bisa memahami rencana impor karena stok menipis dan tidak cukup di Bulog, maka ketahanan pangan yang utama. Tapi, dalam impor, kami menemukan gejala maladministrasi,� kata anggota Ombudsman RI, Alamsyah Saragih, saat jumpa pers di Jakarta, Senin.
Ombudsman menilai informasi stok yang disampaikan ke publik tidak akurat karena pemerintah menyatakan stok beras surplus, sementara berdasarkan temuan Ombudsman sebaran stok beras tidak merata di setiap daerah.
Keputusan Kementerian Perdagangan untuk mengimpor beras dinilai mengabaikan prinsip kehati-hatian karena dilakukan menjelang panen raya.
Ombudsman menemukan gejala penggunaan kewenangan untuk tujuan lain, ketika stok di Bulog menipis dan harga beras naik, impor semestinya dilakukan untuk meningkatkan cadangan beras demi stabilisasi harga.
Penunjukkan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) untuk impor dan distribusi beras dinilai Ombudsman berpotensi melanggar Perpres nomor 48/2016 dan Inpres nomor 5/2015 yang mengatur tugas impor dalam menjaga stabilitas harga dilakukan oleh Perum Bulog.
Permendag nomor 1/2018 dianggap terlalu cepat dan tanpa sosialisasi sehingga berpotensi mengabaikan prosedur dan mengandung potensi konflik kepentingan.
�Apaka PPI berpengalaman melaksanakan operasi pasar? Apakah beras khusus akan mengganggu harga pasar?� kata Alamsyah.
Pekan lalu, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengumumkan akan mengimpor 500 ribu ton beras khusus dari Thailand dan Vietnam untuk menekan harga beras medium yang meningkat di pasar.
Harga beras medium naik menjadi sekitar Rp11.000 per kilogram pada awal Januari ini, di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditentukan, yaitu Rp9.450 per kilogram untuk wilayah Jawa.
(Baca juga: Mentan Sulaiman mengklaim tidak ada impor beras pada 2016-2017)
Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018