Beijing (ANTARA News) - "Ibu kita Kartini, putri sejati, putri Indonesia, harum namanya".
Luo Haiyan tidak sedang mengikuti audisi pemilihan penyanyi berbakat. Namun beberapa orang yang berada di salah satu ruang perkuliahan Bahasa Indonesia di Guangxi University of Foreign Languages (GUFL) sore itu dibuatnya terhibur.
Mahasiswi asal Shijiazhuang, Provinsi Hebei, itu tanpa kesulitan melafalkan kata demi kata dalam bait lagu Ibu Kita Kartini.
Pengucapan huruf "R" yang merupakan hambatan utama bagi umumnya warga China dilaluinya meskipun samar-samar masih terdengar sengau saat melafalkan kata "harum".
"Saya ingin kuliah di Yogyakarta karena sebelumnya saya tertarik dengan budaya masyarakat sana," ujarnya di depan para penguji program beasiswa Darmasiswa.
Gadis yang memiliki nama lain Kenari itu mendapat kesempatan mengikuti tes yang digelar oleh Atase Pendidikan KBRI Beijing dan KJRI Guangzhou pada 10-11 Januari 2018 setelah berhasil menyisihkan belasan rekan seangkatannya.
Selain Luo Haiyan, Jurusan Bahasa Indonesia GUFL juga menyertakan Luo Yue dalam tes tersebut.
"Saya ingin memperdalam Bahasa Indonesia di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) Bandung agar saya bisa mengunjungi Kawah Putih (Ciwidey), bisa masak bala-bala dan gado-gado," ujar Luo Yue yang berasal dari Kota Chongqing itu.
Lain lagi dengan Yang Sujin, mahasiswi jurusan Bahasa Indonesia di Guangxi University for Nationalities (GUN), yang memilih lagu berjudul "Separuh Aku" sebagai jurus pemikat sang penguji.
"Dengar laraku, suara hati ini memanggil namamu karena separuh aku dirimu," demikian penggalan lagu yang dibawakan mahasiswi GUN dari Provinsi Sichuan itu cukup menghibur Asri Hapsari, penguji dari KJRI Guangzhou.
Bait pertama dan kedua lagu yang dipopulerkan Ariel bersama grup band Noah itu dilewatinya dengan mulus.
Namun di akhir reffrain, mahasiswi yang memiliki nama lain Melinda itu tampak lengah sehingga pengucapan kata "dirimu" dalam lagu itu lamat-lamat terdengar "dilimu".
"Selain `R` yang sering kali dilafalkan menjadi `L`, hampir kebanyakan mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia di China tidak bisa membedakan huruf `G` dan `K`, `D` dan `T`. Mereka merasakan sulit mengucapkan `gado-gado` dan `kado`," kata Riyono Utomo, staf Atase Pendidikan KBRI Beijing, yang sudah belasan tahun malang-melintang di daratan Tiongkok itu.
Oleh sebab itu, pria yang hampir setiap tahun menguji pelamar Darmasiswa tersebut memaklumi problem yang mendera kebanyakan masyarakat China dalam mempelajari Bahasa Indonesia tersebut.
Kesulitan yang sama juga dialami orang Indonesia yang belajar Bahasa Mandarin, terutama dalam membedakan pengucapan huruf J, Zh, Q, dan C.
Antusias
Selain di Nanning, Daerah Otonomi Khusus Guangxi yang berbatasan langsung dengan Vietnam, tes wawancara yang dipimpin Atase Pendidikan KBRI Beijing Priyanto Wibowo juga digelar di Kunming (Provinsi Yunnan), Guangzhou (Provinsi Guangdong), Xi`an (Provinsi Shaanxi), Beijing, Tianjin, dan Shanghai.
Namun di dua perguruan tinggi di Nanning itu yang paling banyak pesertanya, berjumlah 29 orang.
GUFL menyertakan dua mahasiswinya yang lolos seleksi internal di Jurusan Bahasa Indonesia, sedangkan GUN mengikutkan seluruh pelamar yang berjumlah 27 orang.
"Biar Atase Pendidikan sendiri yang memilih," kata Kristina, staf pengajar Bahasa Indonesia di GUN, menyampaikan alasan bahwa pihaknya tidak menggelar seleksi internal seperti di GUFL.
Kedua perguruan tinggi di ibu kota daerah otonomi khusus yang paling banyak dihuni etnis Zhuang itu bersaing ketat mendapatkan mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia.
GUFL relatif baru karena berdiri pada tahun 2004 dan jurusan Bahasa Indonesia baru terbentuk pada 2015. Namun dalam dua tahun terakhir sudah memiliki 50 mahasiswa program S1 jurusan Bahasa Indonesia ditambah dengan 284 mahasiswa jurusan lain yang mempelajari Bahasa Indonesia.
Sementara itu, GUN yang berdiri pada 1952 telah memiliki 200 mahasiswa Bahasa Indonesia sejak jurusan itu terbentuk pada 2005.
GUN tidak mau tersaingi karena GUFL menargetkan 1.000 mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia karena mahasiswa di GUFL mayoritas belajar bahasa negara-negara Asia Tenggara kecuali Bahasa Melayu.
"Target ini bukan muluk-muluk karena mahasiswa jurusan Bahasa Thailand di kampus kami sudah mencapai angka 1.000. Kalau dua tahun lalu mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia hanya lima orang dan saat ini sudah 50 orang, maka kami optimistis target 1.000 mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia akan tercapai," kata Wakil Rektor GUFL Song Yafei saat menemui Atase Pendidikan Priyanto Wibowo di kampusnya, Kamis (11/1).
Oleh sebab itu, dia berharap dua mahasiswinya bisa lolos seleksi program beasiswa yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI itu untuk yang pertama kalinya.
Berbeda dengan GUN yang sudah beberapa kali meloloskan mahasiswanya untuk belajar Bahasa Indonesia di perguruan tinggi di Indonesia selama 12 bulan, seperti Kristina yang saat ini sebagai dosen senior Bahasa Indonesia.
"Saya sangat senang bisa belajar Bahasa Indonesia selama satu tahun di Unesa (Universitas Negeri Surabaya). Selain bahasa, saya diajari sastra, tari-tarian, dan juga jalan-jalan di luar kampus, termasuk ke Gunung Bromo," kata dosen asal Nanning yang merindukan gado-gado sebagai makanan kesukaannya saat tinggal di Kota Pahlawan pada 2008 itu.
Dalam menyelenggarakan program perkulihan Bahasa Indonesia di GUN, Kristina didampingi lima pengajar, dua di antaranya didatangkan langsung dari Yogyakarta dan Pekalongan, Jawa Tengah.
Antusiasme warga China untuk bisa mendapatkan fasilitas kuliah gratis dan biaya hidup Rp2 juta per bulan selama satu tahun di Indonesia itu tidak sebanding dengan kuota yang disediakan Kemendikbud.
Kuota Kemendikbud untuk mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia di China dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan, meskipun secara global tetap, yakni 650 orang per tahun.
Dengan 11 perguruan tinggi di China yang membuka jurusan Bahasa Indonesia dan jumlah mahasiswanya yang hampir 1.000 orang tidak sebanding dengan kuota Darmasiswa tahun 2018 hanya 16 orang.
Kontras dengan kuota Darmasiswa di China pada tahun-tahun sebelumnya yang mencapai angka 25, 30, bahkan pernah 70 orang.
Padahal selain kerja sama di bidang pendidikan Indonesia-China makin intensif, program Darmasiswa bagi pelajar China dapat dirasakan manfaatnya secara langsung dalam kaitannya dengan hubungan antarmasyarakat kedua negara atau people to people contact.
Alumni Darmasiswa banyak yang menjadi tenaga pengajar Bahasa Indonesia selain juga bekerja di media resmi pemerintah China yang memiliki divisi publikasi Bahasa Indonesia, seperti Radio Internasional China (CRI).
"Saya tidak akan pernah melupakan pengalaman belajar di Surabaya ketika ke kampus dan ke pasar harus naik becak," ujar Maria, editor Departemen Siaran Bahasa Indonesia CRI yang pernah mengenyam pendidikan di Unesa itu.
Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018