Jakarta (ANTARA News) - Nilai tukar rupiah, Selasa pagi, turun mendekati level Rp9.050 per dolar AS, karena pelaku masih melepas rupiah, meski yen sejak dua hari lalu menguat. Rupiah diperdagangkan pada level Rp9.035/9.040 per dolar AS Selasa pagi, dibandingkan dengan posisi penutupan hari sebelumnya sebesar Rp9.023/9.045 atau melemah 12 poin. Pengamat pasar uang, Edwin Sinaga, di Jakarta, mengatakan pelaku lokal masih melepas rupiah dan membeli dolar AS, meski yen menguat terhadap dolar AS. Penguatan yen terhadap dolar AS biasanya menimbulkan sentimen positif pasar yang memicu rupiah menguat, namun pelaku pasar terlihat lebih cenderung membeli dolar AS, katanya. Rupiah, menurut dia, saat ini masih diselimuti faktor negatif pasar, namun posisi rupiah yang di atas level Rp9.000 per dolar dinilai masih stabil. Kondisi rupiah yang tertekan itu dalam waktu tidak lama akan kembali membaik, karena faktor eksternal yang muncul akan memberikan dukungan positif pasar, ucapnya. Menurut Edwin Sinaga, rupiah akan mendapat dukungan antara lain dari Bank Sentral Jepang (BOJ) dan Bank Sentral AS (The Fed) yang berencana akan menaikkan tingkat suku bunganya. BOJ akan menaikkan suku bunga untuk memicu yen terus menguat, karena posisinya saat ini masih jauh di atas level 110 yen dan The Fed juga melakukan hal yang sama untuk menekan inflasi yang cenderung meningkat, katanya. Ditanya mengenai dolar AS, menurut dia turun 0,2 persen terhadap yen menjadi 123,40 yen, euro juga melemah menjadi 166,05 atau melemah 0,25 persen. Kenaikan yen itu juga karena peringatan dari Menkeu Jepang bahwa pasar harus menyadari risiko yang akan terjadi akibat merosotnya yen, katanya. "Kami juga menunggu reaksi dari pelaku lokal dengan membaiknya yen yang diharapkan akan memberi nilai positif sehingga rupiah akan kembali berada di bawah level Rp9.000 per dolar AS," tambahnya. Rupiah saat ini terkoreksi, karena pasar saham regional melemah akibat merosotnya bursa Wall Street, menyusul kekhawatiran pelaku pasar khawatir atas pasar AS yang cenderung merosot, demikian Edwin Sinaga. (*)

Copyright © ANTARA 2007