Jakarta (ANTARA News) - Pemilihan umum yang akan berlangsung di Tanah Air tampaknya belum dapat terbebas dari isu politik uang.
Belakangan isu ini kembali mencuat setelah muncul pengakuan dari salah satu kader Partai Gerindra La Nyalla Mattalitti tentang adanya permintaan mahar politik sebesar Rp40 miliar.
La Nyalla mengaku ditanyakan kesanggupannya untuk menyediakan dana Rp40 miliar guna membayar saksi pilkada, jika mau menerima rekomendasi dari Gerindra sebagai calon kepala daerah di Jawa Timur.
Menurut La Nyalla pertanyaan itu disampaikan di Hambalang, Bogor. Dia mengatakan, jika dana tidak diserahkan sebelum 20 Desember 2017, maka dirinya tidak akan mendapatkan rekomendasi Gerindra untuk maju di Pilgub Jatim.
Kejadian ini berbuntut kekecewaan dari La Nyalla yang kini berencana mundur dari keanggotaan Gerindra.
Menurut Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane, pengakuan La Nyalla perlu ditelusuri kebenarannya agar praktik politik uang di balik Pilkada Serentak 2018 bisa terbongkar.
Dia mengatakan penelusuran dapat dilakukan Satgas antiPolitik Uang yang baru saja dibentuk oleh Polri untuk memastikan Pilkada berlangsung bersih dan berkualitas
Neta mengingatkan jauh sebelum La Nyalla, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi juga mengaku pernah diminta dana sebesar Rp10 miliar untuk bisa memperoleh surat rekomendasi maju di Pilgub Jawa Barat 2018.
Hal ini perlu nendapat perhatian Satgas antiPolitik Uang Polri. Sebab, kata Neta praktik politik uang merupakan salah satu penyebab berkembangnya politik biaya tinggi dan maraknya korupsi yang melibatkan kepala daerah.
Dia menilai Satgas antiPolitik Uang Polri perlu menggali keterangan dari La Nyalla atas pengakuannya tersebut.
Kasus La Nyalla dapat menjadi momentum bagi Polri untuk memantau, memburu, dan menciduk para pelaku politik uang di balik Pilkada 2018.
Sehingga keberadaan Satgas antiPolitik Uang Polri benar benar nyata dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Sebaliknya jika pengakuan adanya politik uang tidak benar, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengklarifikasi hingga melaporkannya ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Seperti diketahui Polri di bawah kepemimpinan Jenderal Tito Karnavian? telah membentuk Satgas antiPolitik Uang untuk mencegah terjadinya politik uang pada tahapan-tahapan?Pilkada Serentak 2018.
Satgas yang dipimpin Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto akan mengawasi empat tahapan Pilkada yakni tahap pencalonan, tahap pemilihan, tahap penetapan calon terpilih hingga tahap pengajuan keberatan di Mahkamah Konstitusi.
Adapun isu politik uang dalam Pilkada 2018 juga turut ditanggapi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lembaga antirasuah itu menyatakan mahar politik dan politik uang dalam pemilihan umum menciderai proses demokrasi dan berpotensi memicu praktik korupsi.
Mahalnya biaya maju sebagai kepala daerah bisa memicu kepala daerah tersebut melakukan korupsi untuk mengembalikan "modal" kampanyenya, jika terpilih di kemudian hari.
Menurut juru bicara KPK Febri Diansyah, KPK sejauh ini telah menerima laporan dari sejumlah pihak mengenai dugaan adanya praktik politik uang jelang Pilkada Serentak 2018.
Febri mengingatkan jika ada penyelenggara negara yang disinyalir melakukan praktik korupsi jekang Pilkada, maka masyarakat dapat melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dia menekankan, KPK akan menelaah setiap laporan masyarakat yang masuk terkait dugaan politik uang yang bersinggungan dengan korupsi.
Butuh terobosan
Publik tentu sudah bosan dengan isu politik uang. Masalah ini perlu diselesaikan secara serius oleh pihak-pihak berwenang, secara bersama-sama hingga tuntas.
Jangan sampai, publik menjadi apatis terhadap keberlangsungan proses demokrasi pemilu.
Pengamat Pengamat politik The Indonesian Institute, Arfianto Purbolaksono, mengatakan sejatinya praktik politik uang dalam pilkada telah menjadi rahasia umum.
Menurut Arfianto, publik telah mengetahui bahwa dalam proses pencalonan di konstestasi politik saat ini, khususnya Pilkada memerlukan uang.
Dana dengan jumlah fantastis yang biasanya disediakan di awal itu umumnya akan digunakan baik untuk kebutuhan kampanye hingga dana membayar saksi saat pencoblosan berlangsung.
Arfianto berpandangan Komisi Pemilihan Umum perlu membuat sebuah terobosan untuk menjawab pernyataan kader Gerindra La Nyalla Mattalitti soal keperluan dana saksi Pilkada sebesar Rp40 miliar.
KPU perlu mendorong parpol dan calon kepala daerah untuk menginformasikan kepada publik, terkait dari mana asal dana kampanye, hingga alokasi penggunaanya.
Hal ini bertujuan untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas parpol dan calon kepada publik. Sehingga parpol pendukung dan calon kepala daerah tidak hanya mengumbar janji, tapi juga dipaksa untuk menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pilkada serentak.
Dia menilai parpol dan calon kepala daerah dapat menginformasikan aliran dana melalui website, baliho, dan lain sebagainya. Hal ini dapat dilakukan semenjak ditetapkan oleh KPUD sebagai pasangan calon peserta pilkada, hingga selesainya penyelenggaraan pilkada.
Dia menekankan transparansi dalam pendanaan kampanye penting demi menciptakan pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas.
Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018