Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Perindustrian mendorong percepatan pembangunan klaster industri baja di Cilegon (Banten), Batulicin (Kalimantan Selatan), dan Morowali (Sulawesi Tengah) yang produksinya diproyeksikan bisa memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor.

"Melalui pendekatan klaster ini, karena sifatnya saling melengkapi, produk yang dihasilkan akan lebih berdaya saing serta memacu adanya inovasi dan peningkatan kualitas produk sesuai permintaan konsumen saat ini," kata Menteri Peridustrian Airlangga Hartarto dalam siaran pers kementerian, Sabtu.

Pemerintah menargetkan produksi 10 juta ton baja pada 2025 dari klaster industri baja di Cilegon. Airlangga mengatakan klaster industri yang nilai investasinya mencapai empat miliar dolar AS itu akan memberikan efek ganda melalui penciptaan lapangan pekerjaan, dan pemenuhan bahan baku industri dalam negeri.

"Dan memberikan manfaat terhadap perekonomian nasional khususnya Banten," katanya.

Kementerian Perindustrian sudah meminta produsen baja PT Krakatau Steel (Persero) Tbk., Posco, Nippon Steel dan Osaka Steel berkolaborasi merealisasikan peta jalan pengembangan klaster baja 10 juta ton tersebut.

Pembangunan klaster ini akan memberikan efek berantai berupa penyerapan 45.000 tenaga kerja langsung dan 375.000 tenaga kerja tidak langsung serta pendapatan pajak sekitar 0,17 miliar dolar AS dan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto sebesar 0,38 persen.

PT Krakatau Steel sudah bekerja sama dengan perusahaan Jepang, Sango Corporation, dalam pengembangan produk baja wire rod untuk kebutuhan sektor otomotif dengan nilai investasi mencapai 95 juta dolar AS di Cilegon.

"Pertumbuhan industri pengguna baja di Indonesia terbilang cukup baik. Contohnya, industri otomotif, yang diproyeksikan pada tahun 2025 akan memproduksi tiga juta unit mobil sehingga membutuhkan sebanyak 1,8 juta ton baja otomotif," kata Airlangga, yang sekarang menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golongan Karya.

Sementara itu, kebutuhan baja kasar nasional per tahun saat ini 14 juta ton, namun produksi industri baja dalam negeri baru delapan juta ton per tahun, yang menempatkan Indonesia di peringkat enam daftar produsen baja kasar besar Asia.

Pemerintah memacu produksi dan pengembangan industri baja nasional untuk memenuhi kebutuhan sektor-sektor seperti otomotif, perkapalan maupun perkeretaapian.

"Sehingga kita tidak perlu lagi impor," kata Airlangga.

Selain di Cilegon, kawasan industri berbasis baja dibangun Batulicin, Kalimantan Selatan. Kawasan industri seluas 955 hektare ini diproyeksikan bisa menyerap 10 ribu tenaga kerja. Saat ini sudah ada industri baja yang beroperasi di kawasan yang dilengkapi dengan pelabuhan kapal feri itu, yakni PT Meratus Jaya Iron and Steel.

Proyek selanjutnya adalah pembangunan industri berbasis nikel dan baja tahan karat di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah.

Realisasi investasi untuk kawasan ini sepanjang 2015-2017 mencapai Rp80 triliun dan ditargetkan meningkat menjadi Rp105 triliun pada 2019. Kawasan industri seluas 2.000 hektare itu ditargetkan menghasilkan empat juta ton stainless steel per tahun, dan baja karbon empat juta ton per tahun.

Airlangga menjelaskan pula bahwa industri baja dikategorikan sebagai sektor induk karena produknya merupakan bahan baku utama bagi kegiatan manufaktur di sektor industri lainnya.

Baja merupakan komponen penting dalam sektor infrastruktur secara luas yang antara lain meliputi bangunan dan properti, jalan dan jembatan, telekomunikasi, serta ketenagalistrikan.


Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018