Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung tetap meminta Bareskrim Polri menghadirkan tiga tersangka dugaan korupsi kondensat PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) yang merugikan keuangan negara 2,716 miliar dolar AS dalam pelimpahan tahap dua perkara tersebut.
"Karena tersangkanya tiga, saya minta ketiga-tiganya datang," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Adi Toegarisman, di Jakarta, Rabu.
Kejagung sudah menyatakan berkas perkara Kondensat sudah lengkap atau P21 setelah selama dua tahun ditangani Bareskrim Polri.
Tiga tersangka itu, dua berkas perkara itu, yakni atas nama tersangka Raden Priyono selaku Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMigas) dan Djoko Harsono selaku Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BPMigas yang dibuat satu berkas, berkas berikutnya atas nama Honggo Wendratno selaku Presiden Direktur PT TPPI.
Ia menyatakan optimistis kepolisian bisa menghadirkan tiga tersangka meski tersangka Honggo saat ini masih berada di Singapura.
"Meski satu tersangka masih buron, saya minta tiga-tiganya," katanya.
Harusnya dihadirkan tiga tersangka itu, kata dia, supaya ada kepastian dan keadilan. "
Jaksa Agung HM Prasetyo mengimbau tersangka dugaan korupsi kondensat PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) yang merugikan keuangan negara 2,716 miliar dolar AS, Honggo Wendratno yang berada di Singapura, kembali ke Indonesia mempertanggungjawabkan perbuatannya.
"Saya juga tentunya imbau kepada Honggo (Presiden Direktur PT TPPI) yang sekarang katanya ada di Singapura pulanglah ke Indonesia, pertanggungjawabkanlah perbuatannya supaya proses hukumnya segera selesai," katanya di Jakarta, Jumat.
Kendati demikian, kata dia, kewenangan untuk menghadirkan Honggo berada di tangan kepolisian dan dirinya meyakini polisi bisa menghadirkan tersangka tersebut bersama dua tersangka lainnya untuk pelimpahan tahap dua yakni barang bukti dan tersangka.
Pihaknya mengharapkan kepolisian menghadirkan Honggo supaya tidak ada kesan disparitas. "Usahakanlah si Honggo ini dihadirkan di Indonesia dan diserahkan kepada kita supaya penyelesaiannya bisa dilakukan secara serentak bersama dua tersangka lainnya," katanya.
Sebaliknya jika Honggo tidak hadir juga, kata dia, pihaknya bisa saja menyidangkan secara in absentia atau tanpa kehadiran terdakwa, dan kejaksaan sudah berpengalaman untuk soal itu. "Jangan kaget kalau nanti tentunya hukuman in absentia ini lebih maksimal," katanya.
Ia mengingatkan kembali kalau Honggo tidak merasa bersalah maka kembalilah ke Indonesia, kalau lari terbirit-birit berarti dirinya merasa takut bahwa dirinya bersalah. "Saya yakin polisi berusaha untuk menghadirkan Honggo mengingat memiliki hubungan dengan Interpol," katanya.
JAM Pidsus menjelaskan kasus tersebut bermula saat PT TPPI ditunjuk oleh BP Migas untuk mengelola kondensat pada periode 2009 sampai 2011 namun ketika melaksanakan lifting pertama sekitar Mei 2009, itu belum ada kontraknya. "PT TPPI langsung lifting dan langsung mengolahnya," katanya.
BP Migas juga melakukan penunjukan langsung penjualan minyak tanah/kondensat yang melanggar Keputusan Kepala BP Migas Nomor KPTS 20/BP00000/2003-S0 tentang b Pedoman Tata Kerja Penunjukan Penjualan Minyak Mentah/kondensat Bagian Negara.
"Kemudian baru 11 bulan kemudian dibuatkan kontrak pekerjaan itu, artinya tanda tangan atau surat kontraknya diberi tanggal mundur. Kemudian baru dilanjutkan kembali sampai 2011," katanya.
Ditambahkan, pengelolaan kondensat itu dijual Pertamina awalnya sebagai bahan bakar Ron 88 namun oleh PT TPPI diolah menjadi LPG melalui perusahaan miliknya Tuban LPG Indonesia (TLI). "Kira-kira ada 6 pelanggaran hukum dari kasus itu, kerugian negara hasil dari audit BPK 2,716 miliar dolar AS," katanya.
Terkait kasus itu ada Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), JAM Pidsus menegaskan perkara itu belum ada TPPU-nya. "Tapi dari hasil koordinasi kami (Kejagung) ada komitmen dari kepolisian nanti jika dalam perkembangannya akan ditangani TPPU-nya," katanya.
Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018