Metode yang ia sebut Indeks Vaskular Migrain (IVM) itu rumusnya telah divalidasi dan mendapatkan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan jangka waktu perlindungan 50 tahun sejak pertama kali diumumkan pada 1 Januari 2017 menurut siaran pers UI.
IVM diketahui dengan mengukur nilai rata-rata kecepatan aliran sel darah merah ke otak. Pengukurannya menggunakan ultrasonografi doppler yang ditempelkan di pelipis. Pasien saat proses ini harus menahan napas dan bernapas cepat, masing-masing selama 30 detik.
"Aliran pembuluh darah otak pada penderita migrain terbukti tidak mampu melebar secara maksimal saat menahan napas dan mengecil lebih kuat saat bernapas cepat, sehingga proses menahan napas ini perlu dilakukan," kata Salim, yang mempresentasikan desertasinya pada Jumat (5/1) di Gedung IMERI, FKUI Salemba.
Selama ini metode diagnosis migrain yang umum dipakai adalah International Headache Society (IHS) Classification, yang dapat menimbulkan banyak perbedaan persepsi dokter sehingga bisa menimbulkan kesalahan diagnosis (underdiagnosis) paling sedikit 50 persen. Karena kesalahan diagnosis, penanganan migrain menjadi tidak tepat.
Dengan IVM, hasil diagnosis bisa mencapai 94,23 persen, dan jika digabung dengan IHS hasil diagnosis menjadi 98,08 persen.
Salim berharap IVM dapat memperbaiki diagnosis pasien migrain sebab, tanpa itu potensi efektivitas pengobatan akan menurun.
Pemeriksaan IVM sangat bermanfaat untuk menjaring orang dengan benar, agar mendapatkan pengobatan yang tepat, karena semakin lama migrain tidak tertangani, semakin berat dan semakin sulit penanganan selanjutnya.
Selama ini masyarakat cenderung menganggap sakit kepala sebelah adalah migrain, padahal migren dapat terjadi di seluruh bagian kepala, bukan hanya di satu bagian saja. Nyeri di kepala juga tidak harus migrain, bisa saja itu indikasi sinusitis, sakit kepala servikogenik, sakit kepala tegang, dan banyak lagi.
Menurut survei The Global Burden of Disease 2010 yang dilakukan World Health Organization (WHO), migrain merupakan penyebab disabilitas ketujuh tertinggi secara global.
Prevalensi migrain di Asia mencapai 22,4 persen berdasarkan penelitian di Hong Kong. Sedangkan, di Indonesia, prevalensi migrain mencapai 22,4 persen berdasarkan studi populasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan di Kementerian Kesehatan RI.
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018