Jakarta (ANTARA News) - Pengamat dari "Constitutional and Electoral Reform Center" (Correct) Hadar Nafis Gumay menilai kinerja penyelenggara pemilu yang profesional berpeluang untuk mengurangi jumlah gugatan sengketa hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI periode 2012-2017 tersebut menjelaskan, kerja profesional yang dimaksud adalah menjalankan tugas sesuai aturan, menunjukkan integritas tinggi dan menegakkan transparansi dalam setiap tahapan.
"Kalau semua proses dalam pilkada dibuka transparan, tidak ada main curang, dan hitung-hitungannya KPU jelas, orang akan mengakui kalau dia kalah," ujar Hadar di Jakarta, Senin.
Ia menambahkan dengan keterbukaan informasi tersebut, peserta pemilu akan mengetahui data valid hasil penyelenggaraan pilkada.
"Kalau perhitungan KPU akurat, tentu mereka akan berfikir ulang untuk menggugat ke MK. Gugatan sengketa juga jadi tidak banyak," tambah Hadar.
"Yang repot adalah kalau ada ketidakpuasan dan peserta mengambil langkah sendiri yang tidak sesuai dengan peraturan. Jadi memaksakan penyelenggara mengubah angka, ini di luar jalur hukum yang ada. Ini kan repot," tutur dia.
Sebelumnya, Konstitusi dan Demokrasi (KODE) Inisiatif memaparkan data terjadi kenaikan jumlah pengajuan perkara hasil pilkada ke MK.
Pada Pilkada 2015, perkara yang diajukan 152 dari 269 daerah yang melaksanakan pilkada, setara dengan 56,5 persen.
Sedangkan pada 2017, ada 60 perkara yang masuk ke MK, dari total 101 daerah yang melaksanakan pilkada, yang mana angka tersebut setara dengan 59 persen.
Terkait data itu, Peneliti KODE Inisiatif Adelline mengatakan ada kecenderungan jumlah perkara ke MK akan meningkat pada Pilkada 2018 dengan 171 daerah.
Pewarta: Agita Tarigan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018