Ada sebuah legenda tentang seorang putri raja bernama Siti Fatimah yang disunting oleh saudagar Tionghoa bernama Tan Bun An pada zaman Kerajaan Palembang. Siti Fatimah diajak ke daratan Tiongkok untuk melihat orang tua Tan Bun An.
Setelah disana beberapa lama Tan Bun An beserta istri pamit pulang ke Palembang dan dihadiahi tujuh buah guci. Sesampai di perairan Musi dekat Pulau Kemaro, Tan Bun An mau melihat hadiah yang diberikan dan begitu dibuka Tan Bun An kaget sekali karena ternyata isinya sawi-sawi asin. Tanpa banyak berpikir langsung dibuangnya ke sungai. Tapi guci yang terakhir terjatuh dan pecah di atas dek perahu layar.
Ternyata ada hadiah yang tersimpan di dalamnya, Tan Bun An tanpa banyak berpikir ia langsung melompat ke sungai untuk mencari guci-guci tadi.
Seorang pengawal juga terjun untuk membantu dan melihat dua orang tersebut tidak muncul, Siti Fatimah pun ikut melompat untuk menolong, ternyata ketiga-tiganya tidak muncul lagi. Penduduk sekitar pulau sering mendatang Pulau Kemaro untuk mengenang tiga orang tersebut dan tempat tersebut dianggap sebagai tempat yang sangat keramat sekali.
Demikianlah sebuah cerita legenda yang tertulis di sebuah prasasti di Pulau Kemaro yang berada di tengah Sungai Musi, sekitar enam kilometer dari dermaga Benteng Kuto Besak, Kota Palembang.
Menurut legenda, pulau tersebut berasal dari tumpukan tanah kuburan Siti Fatimah yang muncul dari sungai, dan Pulau Kemaro berasal dari kata kemarau karena pulau tersebut tidak pernah digenangi air meski volume Sungai Musi sedang meningkat.
Pulau Kemaro adalah legenda percintaan antara dua pasangan lain etnis yang berakhir tragis dan melambangkan kesetiaan seperti yang diperlihatkan oleh Siti Fatimah.
Tidak mengherankan jika Pulau Kemaro juga dikenal dengan sebutan Pulau Cinta dan banyak dikunjungi oleh pasangan yang berharap berkah, terutama pada saat Hari Raya Imlek.
Legenda yang berlangsung turun temurun tersebut masih tetap populer di kalangan masyarakat setempat dan kemudian berkembang ke berbagai daerah. Untuk mengenang kisah percintaan dua etnis berbeda tersebut, masyarakat Tionghoa yang berdiam di sekitar pulau itu pun mendirikan kuil Budha dan vihara yang bernama Klenteng Hok Tjing Rio.
Di tengah pulau tersebut juga terdapat Pohon Cinta untuk melambangkan cinta sejati dan cerita yang berkembang kemudian, pasangan yang menuliskan nama mereka di pohon tersebut akan mendapatkan cinta sejati, seperti yang pasangan Siti Fatimah dan Tan Bun An.
Tapi berbagai cerita yang beredar di masyarakat, pohon cinta tersebut hanyalah "bumbu" yang ditambah-tambahkan agar menarik wisatawan untuk berkunjung ke pulau tersebut, seperti halnya Jembatan Cinta yang ada di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu, Jakarta.
Seiring perjalanan waktu, Pulau Kemaro dengan legenda di baliknya semakin dikenal luas bahkan sampai ke luar negeri dan saat ini menjadi salah satu tujuan wisata paling penting di Kota Palembang.
Untuk melengkapi keindahan Pulau Kemaro, pada 2006 dibangun sebuah pagoda berlantai sembilan yang tampak menjulang dan menjadi penanda pulau tersebut.
Pengunjung yang naik perahu dari dermaga Benteng Kuto Besak, dapat melihat pagoda berwarna merah menyala dari kejauhan.
Pada akhir Desember lalu, suasana di Pulau Kemaro ramai pengunjung karena bertepatan dengan musim liburan sekolah. Pengunjung tidak hanya wisawatan lokal yang rata-rata rombongan keluarga, tapi juga terlihat orang asing.
Setelah merapat di Dermaga Besi Pulau Kemaro, pengunjung disambut oleh pintu gerbang berarsitektur china dengan patung dua naga yang saling berhadapan di atapnya.
Suasana pecinan sangat terasa saat memasuki komplek vihara dan untuk sementara, pengunjung seperti tidak berada di Palembang, tapi di tanah leluhur bangsa Tionghoa di China daratan.
Pada saat Hari Raya Imlek, ribuan pengunjung keturunan Tionghoa berdatangan untuk sembahyang di pulau yang hanya seluas 24 hektare itu. Yang datang tidak hanya mereka yang berasal dari Palembang, tapi juga berbagai daerah lain di seluruh Tanah Air dan bahkan dari luar negeri, terutama dari Singapura, Hongkong, Malaysia dan China.
Untuk mempermudah transportasi ke pulau, pihak Yayasan Tridharma sebagai pemilik lahan sengaja membuat jembatan sepanjang 180m yang terbuat dari sambungan pompong, agar pengunjung bisa berjalan kaki dan tidak perlu menggunakan kapal cepat dari Dermaga Benteng Kuto Besak.
Sekitar 230 hari menjelang Asian Games pada 18 Agustus sampai 2 September mendatang, belum terlihat tanda-tanda bahwa tempat tujuan wisata tersebut berbenah menyambut pesta olahraga terbesar kedua setelah Olimpiade itu.
Berdasarkan pemantauan Antara di lokasi, tidak satu pun spanduk, umbul-umbul atau atribut lain yang berhubungan dengan Asian Games, sangat kontras dengan suasana di Kota Palembang.
Pada saat Kota Palembang penuh dengan hiruk-pikuk pembangunan infrastruktur seperti lintasan Kereta Api Ringan (LRT) atau stadion pertandingan, suasana Pulau Kemaro cenderung sunyi sepi dari sentuhan renovasi sarana.
Meski seperti belum tersentuh oleh persiapan menjelang Asian Games, Pulau Kemaro diyakini tetap akan dibanjiri oleh pengunjung yang akan berdatangan ke Palembang, baik tamu lokal maupun kontingen dari luar negeri.
Hermansyah, pegawai honorer Dinas Pariwisata Kota Palembang yang ditemui di Pulau Kemoro mengakui bahwa ia belum mendapat informasi mengenai pengembangan atau persiapan pulau tersebut untuk menyambut tamu Asian Games.
"Mungkin yang diprioritaskan dalam persiapan adalah pembangunan infrastruktur yang mendesak seperti LRT, stadion atau hotel. Saya berharap ada juga program untuk pembenahan Pulau Kemaro," kata Hermanysah yang sehari-hari juga berjualan kelapa muda di dekat pagoda.
Sebagai salah satu tujuan wisata penting di Palembang selain Jembatan Ampera, Bentek Kuto Besak dan Mesjid Agung, Pulau Kemaro memang sangat membutuhkan sentuhan pengembangan sarana untuk menyambut ribuan tamu Asian Games yang berasal dari 45 negara.
Fasilitas yang ada masih ala kadarnya dan pengunjung pada umumnya ke sana hanya untuk sekedar berswafoto dengan latar belakang bangunan vihara yang unik dan pagoda yang terlihat megah.
Pulau Kemoro adalah tempat yang wajib dikunjungi bagi mereka berasal dari luar Palembang karena ada anggapan bahwa belum lengkap berkunjung ke Palembang jika belum berfoto di Pulau Kemaro, sama halnya dengan berfoto di Jembatan Ampera.
Sejauh ini, pengunjung tidak bisa berharap banyak untuk membawa oleh-oleh atau tanda bahwa mereka sudah mengunjungi Pulau Kemaro karena tidak tersedia cendera mata seperti gantungan kunci, payung atau tas dengan gambar pagoda dan vihara.
Yang banyak tersedia hanyalah jajanan kecil atau kelapa muda yang dijual di tenda-tenda darurat. Juga tidak tersedia restoran atau kafe yang representatif bagi tamu dari luar negeri.
Laura Octaviani, salah seorang pengunjung asal Tangerang Selatan, Banten yang ditemui bersama rekannya mengakui bahwa ia terkesan dengan keberadaan Pulau Kemaro beserta legenda yang ada di baliknya.
"Tapi sayang sarana pendukung seperti restoran atau suvenir yang dijual hanya baju kaos, padahal saya mau mencari tas atau gantungan kunci buat teman-teman di kantor," katanya.
Sementara Hermansyah yang sudah sejak 1997 berdomisili di Pulau Kemaro juga berharap fasilitas umum yang lain seperti toilet umum juga diperbanyak dengan yang lebih modern dan bersih.
Tidak lama lagi Asian Games 2018 akan digelar, tamu-tamu akan berdatangan dan mereka yang sudah mendengarkan legenda cinta sejati Siti Fatimah dan Tan Bun An, ingin datang langsung ke Pulau Kemaro.
Terlepas dari minimnya pembenahan fasilitas, Pulau Kemaro siap menyambut tamu Asian Games yang ingin menemukan cinta sejati seperti kisah Siti Fatimah dan Tan Bun An.
Pewarta: Atman Ahdiat
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018